Urgensi Mekah al-Mukaramah dan Kedudukannya dalam Islam

Posted by Tri Rahmanto Jumat, 04 Januari 2013 1 komentar



Urgensi Mekah al-Mukaramah
dan
Kedudukannya dalam Islam


Sejarah perkembangan kota Mekah

Mekah adalah tanah haram,
negeri yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan juga Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kiblatnya kaum muslim. Dambaan hati mereka
dan tempat mereka beribadah haji dan
tempat mereka berkumpul.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengukuhkannya
sebagai tanah haram yang dihormati, sejak langit
dan bumi diciptakan. Di sana ada Ka’bah,
tempat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang pertama di muka bumi.
Baitul Atiq diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemuliaan
dan keharaman. Di dalamnya terdapat rasa aman,
bahkan rasa aman ini juga dimiliki
oleh pepohonan dan tumbuh-tumbuhan
dengan larangan memotongnya,
burung-burung tidak boleh diusir, dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala
amal kebaikan di dalamnya lebih utama
daripada pahala amalan di tempat yang lain.

Shalat di dalamnya sama dengan
100.000 (seratus ribu) shalat
di tempat yang lain.
Juga karena keagungan dan kehormatan Ka’bah,
Mekah menjadi agung dan dihormati.
Terlebih karena adanya rasa aman di dalamnya
di saat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surah Ali Imran: 97

“Barang siapa memasukinya (baitullah itu)
menjadi amanlah dia.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan negeri ini untuk menunjukkan
kemahabesaran martabatnya.

Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surah al-Balad: 1

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah).”

Di sana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah
bumi Allah yang paling baik dan tanah
yang paling dicintai Allah,
andaikan aku tidak diusir darimu,
niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Diriwayatkan dari Ka’ab radhiallahu ‘anhu,
ia berkata,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih negeri-negeri,
maka negeri yang paling dicintai
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
negeri al-Haram.”



Pengukuhan Mekah Sebagai Tanah Haram

Mekah juga disebut dengan tanah haram
yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah
_shallallahu ‘alaihi wa sallam_, bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Mekah
sebagai tanah haram
semenjak Dia menciptakan langit dan bumi.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
ia berkata,
‘Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
kemenangan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menaklukkan kota Mekah,
lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri
di hadapan orang-orang, kemudian beliau mengucapkan alhamdulillah dan memuji asma Allah,
lalu bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menghalangi tentara bergajah masuk ke Mekah,
dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menaklukkan Mekah
untuk Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
dan sesungguhnya tidak dihalalkan bagi orang sebelumku
untuk menyerbu Mekah, hanya dihalalkan satu saat saja
khusus untukku pada hari ini, dan
sesungguhnya tidak dihalalkan lagi
untuk siapapun setelahku.
Maka dilarang mengusir hewan buruannya,
dilarang memotong tumbuh-tumbuhannya
dan barang yang tercecer tidak halal dipungut
kecuali bagi orang yang berniat mencari pemiliknya.
Dan siapa yang keluarganya mati dibunuh,
maka mereka mempunyai dua pilihan;
menerima diyat (denda 100 ekor unta)
atau qishash.”

Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:
“Kecuali izkhir (sejenis rumput),
wahai Rasulullah?, sesungguhnya kami
mengambilnya untuk diletakkan
di kubur dan di rumah,”
lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kecuali izkhir.” Muttafaq alaih.
Batas Tanah Haram

Orang yang pertama meletakkan batas tanah haram adalah N
abi Ibrahim al-Khalil , Nabi Ibrahim menancapkan tapal di batas tanah haram. Malaikat Jibril yang memperlihatkan kepadanya, kemudian tapal ini tidak diganggu-gugat hingga pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat fathu Mekah (penaklukan kota Mekah), beliau mengutus Tamim bin Asad al-Khuza’i radhiallahu ‘anhu untuk memperbaharui tapal tersebut. Tanda ini juga tidak diganggu-gugat hingga pada masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah. Ia mengutus orang-orang Quraisy untuk memperbaharui tapal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Baitul al-Atiq (Ka’bah) sebagai tanah haram untuk memuliakannya, sehingga terdapat rasa aman yang juga dirasakan oleh burung dan pepohonan, pahala amalan di daerah ini diberikan oleh Allah lebih baik dari daerah lainnya, batas tanah haram tersebut mengitari kota Mekah al-Mukaramah sebagian batasnya lebih dekat ke Ka’bah. Saat ini ditancapkan tapal batas haram di jalan-jalan utama yang menuju ke Mekah, yaitu:

Arah Barat, jalan Jeddah-Mekah, di asy-Syumaisi (Hudaibiyah), yang berjarak; 22 km dari Ka’bah.
Arah Selatan, di Idha’ahiben, jalan Yaman-Mekah untuk yang datang dari Tihamah, yang berjarak; 12 km dari Ka’bah.
Arah timur, di tepi lembah Uranah Barat, yang berjarak; 15 km dari Ka’bah.
Arah timur laut, jalan Ji’ranah dekat dari kampung Syara’i al-Mujahidin, berjarak: 16 km dari Ka’bah.
Arah utara, batasnya adalah Tan’im, yang berjarak; 7 km dari Ka’bah.

Kemuliaan Tanah Haram

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surah Ali Imran: 97

“Dan siapa yang masuk ke dalamnya (Baitullah),
maka amanlah ia.”

Yakni tanah haram Mekah. Bila seorang yang merasa ketakutan memasukinya, ia akan merasa aman dari segala keburukan. Hal ini telah ada semenjak zaman jahiliyah, bila seorang laki-laki membunuh seseorang, kemudian ia masuk ke Masjidil Haram lalu anak dari korban pembunuhan tersebut bertemu dengannya, maka anak tersebut tidak akan mengganggunya sama sekali hingga si pembunuh keluar darinya.

Telah terjadi kesepakatan para ulama (ijma) bahwa siapa yang berbuat suatu tindak pidana di tanah haram, maka ia tidak mendapatkan rasa aman tersebut karena ia telah merusak kehormatan tanah haram. Adapun apabila seseorang melakukan tindak pidana di luar kawasan ini kemudian ia mencari suaka ke tanah haram, maka haruslah bagi setiap kaum muslimin memboikot orang tersebut hingga orang itu keluar dari tanah haram, lalu dilaksanakan hukum had terhadap orang tersebut.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Siapa yang melakukan suatu tindak kejahatan, kemudian datang ke Baitullah agar mendapat perlindungan, maka dia aman, dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin memberi hukuman padanya, hingga dia keluar dari tanah haram, dan apabila dia telah keluar, maka dibolehkan menghukumnya.”
Nama-nama Mekah

Negeri yang mulia dan tanah haram yang agung ini memiliki banyak nama, hampir mencapai 50 nama. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi nama kota ini dengan 5 nama: Mekah, Bakkah, al-Balad (berarti: kota), al-Qaryah (berarti: negeri), Ummul Qura (berarti: ibu negeri).

Adapun nama Mekah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah.” (QS. Al-Fath: 24)

Adapun nama Bakkah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya rumah pertama yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

Adapun pemberian nama al-Balad, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (QS. al-Balad: 1)

“Aku benar-benar bersumpah dengan Balad (kota) ini.” Yakni: Mekah.

Kata “al-Balad” secara etimologi berarti: bagian tengah dari sebuah negeri.

Adapun penamaan kota ini dengan al-Qaryah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (QS. An-Nahl: 11)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram.”

Kata “Qaryah” berarti suatu tempat yang menghimpun manusia dalam jumlah yang besar. Makna asal kata ini adalah: menghimpun.

Dan penamaannya dengan Ummul Qura disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS. Al-An’am: 92):

“Dan agar engkau membari peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura.” Yakni Mekah.

Mekah juga memiliki nama-nama lain seperti:
Nassasah, al-Hathimah, al-Haram, Shalah,
al-Basah, Ma’az, Ar Ra’as, al-Balad al-Amiin,
Kuusa, dan banyak lagi yang lainnya.


Keutamaan Mekah

Hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan Mekah dan kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sangat banyak tak terhitung jumlahnya.

Di antaranya; hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Adi bin al-Hamra radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Mekah (beliau sedang berada di atas ontanya di Hazwarah):

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah, andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Hadis di atas adalah hadis yang paling shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, dan menjadi dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwasanya Mekah adalah negeri yang paling mulia dari seluruh negeri di permukaan bumi.

Cukuplah sebagai bukti menunjukkan tentang keutamaan Mekah, bahwa shalat di Masjidil Haram pahalanya dilipatgandakan berlipat-lipat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Satu shalat di masjidku ini lebih dari 1.000 shalat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram sekali lebih baik dari 100.000 shalat di tempat yang lain.”

Apabila kita hitung keutamaan satu shalat di Masjidil Haram berdasarkan petunjuk hadis ini dilipat-gandakan menjadi 100.000 shalat di tempat lain, berarti satu shalat di Masjidil Haram sama dengan shalat selama 55 tahun 6 bulan 20 hari, dan shalat sehari semalam (shalat lima waktu) sama dengan 277 tahun 9 bulan 10 hari.

Teks hadis yang menjelaskan bahwa pahala shalat dilipatgandakan, berarti amalan yang lain juga dilipatgandakan menjadi 100.000 kebajikan. Al-Muhib at-Thabari rahimahullah berkata: “Hadis-hadis yang menjelaskan perlipatgandaan pahala shalat dan puasa menunjukkan adanya kelipatan pahala pada setiap amalan, diqiyaskan dengan shalat dan puasa.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “puasa sehari di Mekah sama dengan puasa 100.000 hari, sedekah 1 dirham sama dengan 100.000 dirham, dan setiap kebajikan digandakan menjadi 100.000.”

Akan tetapi dua sayarat amalan digandakan pahalanya, yaitu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut sesuai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebaliknya dosa juga dilipatgandakan di sini, maka seharusnya seorang muslim menghindarkan diri dari berbuat maksiat di Mekah.

Mujahid rahimahullah berkata, “Dosa berbuat kejahatan di Mekah dilipatgandakan seperti amalan kebajikan yang dilipatgandakan.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya, apakah ada sebuah dosa yang ditulis lebih dari satu?, Ia menjawab: “Tidak ada kecuali bila ia dilakukan di Mekah, karena agungnya negeri ini.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga mengatakan hal yang sama: “Jikalau seseorang berkeinginan membunuh seorang mukmin di Baitullah dan dia masih berada jauh di Aden (nama kota di Yaman), Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada orang tersebut azab yang pedih di dunia.”
Tinggal di Mekah

Tinggal di Mekah dianjurkan, karena setiap amal kebajikan dan ketaatan di sana digandakan pahalanya. Dan hal ini telah dilakukan oleh para teladan kita, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf yang tidak terhitung jumlah mereka.

Dan dalil yang paling kuat yang menjelaskan keutamaan tinggal di Mekah adalah: keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menetap di Mekah, dan juga keinginan Bilal radhiallahu ‘anhu untuk kembali ke Mekah dalam bait sya’irnya.

Ungkapan yang paling tepat tentang anjuran pindah ke Mekah dan tinggal di sana, perkataan Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf: “Sungguh kami telah mencoba dan juga orang-orang sebelum kami, maka kami tidak mendapatkan setelah berputar mengelilingi daerah-daerah (yang membantu untuk mengekang nafsu, menentang syahwat, memusatkan hati, mengonsentrasikan pikiran, mendorong untuk qana’ah, mengusir setan, jauh dari cobaan dan bala, dan melakukan perintah agama dengan seksama) selain tinggal di tanah haram, berdampingan dengan Baitullah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan hal tersebut, dan memberikan kesabaran dan rasa syukur.”
Bentuk Ka’bah al-Musyarafah, Sejarah Pembangunan dan Pemugarannya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci itu
sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) manusia.”
(QS. Al-Maidah: 97)

Ka’bah adalah: Baitullah al-Haram yang berada di tengah masjid, dan sebab dinamakan Ka’bah yaitu:
seperti yang diriwayatkan oleh Azraqi dan Abu Nujaih,
ia berkata: “Dinamakan Ka’bah karena bentuknya segi empat seperti kubus, maka diberi nama bangunan tersebut dengan Ka’bah karena berbentuk bujur sangkar.” Demikian juga menurut Ikrimah dan Mujahid rahimahumallah

Ada yang berpendapat:
dinamakan Ka’bah karena ketinggiannya
dan berdiri menjulang.

Juga dinamakan: Bait al-Atiq yang berarti: rumah yang terbebaskan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskannya dari tangan kekuasaan para durjana. Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Dinamakan Bait al-Atiq karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan para pemimpin zalim menguasainya.”
Pembangunan Mekah

Ka’bah dibangun lebih dari sekali, yang masyhur (populer) bahwa Ka’bah dibangun lima kali;

Pertama: Dibangun oleh para malaikat.

Kedua: Dibangun oleh Nabi Adam.

Ketiga: Dibangun oleh Nabi Ibrahim.

Keempat: Dibangun oleh bangsa Quraisy pada masa jahiliyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut andil membangunnya saat itu umur beliau 25 tahun.

Kelima: Dibangun oleh Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu.
Ibrahim dan Ismail Membangun Ka’bah

Ketika Nabi Ismail lahir dari rahim ibunya Hajar, rasa cemburu Sarah bertambah, dan dia meminta Nabi Ibrahim al-Khalil membawa jauh Hajar dari hadapannya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Ibrahim agar membawa Hajar keluar dari Palestina menuju Mekah al-Musyafarah. Lalu Nabi Ibrahim membawa istri dan putranya menempuh perjalanan jauh, hingga sampai di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan Mekah, lalu menempatkan mereka di sana.

Setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan putranya di Mekah, dia pernah berkunjung untuk mengetahui keadaan mereka, dalam salah satu kunjungannya Nabi Ibrahim menemui putranya Ismail sedang mengasah anak panahnya di bawah sebuah pohon yang rindang di dekat zam-zam.

Tatkala Ismail melihat ayahnya, dia langsung berdiri menyambutnya, lalu mereka berpelukan layaknya seorang putra kepada ayahnya dan ayah kepada putranya, kemudian Nabi Ibrahim berkata: “Wahai Ismail sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku perintah.”

- Ismail berkata: “Lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu.”

- Ibrahim berkata: “Maukah engkau membantuku?”

- Ismail berkata: “Aku akan membantumu.”

- Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkanku untuk membuat rumah ibadah di sini” (sambil mennjuk ke sebuah anak bukit sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah sekitarnya).

Kemudian keduanya mulai membangun pondasinya, Nabi Ismail mencari dan mengangkat batu, sedangkan Nabi Ibrahim yang memasangnya.

Hingga dinding bangunan mulai tinggi, Nabi Ibrahim mengambil batu (yang sekarang dikenal dengan maqam Ibrahim), lalu meletakkannya dan berdiri di atas batu tersebut untuk memasang batu di bagian atas, dan Nabi Ismail memberikan batu dari bawah.

Kemudian mereka berkata:

“Ya Tuhan kami, terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Lalu mereka thawaf (berputar) mengelilingi bangunan tersebut.
Quraisy Membangun Ka’bah

Beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul, batu-batu dinding Ka’bah bagian atas sudah mulai pecah dan berserakan. Tingginya yang tidak terlalu jauh dari ukuran orang berdiri, membuat orang dapat dengan mudah memanjatnya lalu mencuri barang berharga yang terdapat di dalamnya.

Quraisy berkeinginan untuk meninggikan dinding Ka’bah dan memberinya atap. Pada saat yang sama di Jeddah, ada kapal milik pedagang Roma yang dihempaskan ombak ke pantai lalu pecah. Kaum Quraisy mengambil kayunya untuk dipersiapkan menjadi atap Ka’bah.

Tetapi orang-orang yang merasa takut untuk mulai menghancurkan Ka’bah, hingga al-Walid bin al-Mughirah memberanikan diri untuk memulai menghancurkannya.
Ketika orang-orang melihat al-Walid tidak mengalami apa-apa, mereka baru berani menghancurkannya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Meletakkan Hajar Aswad

Kemudian kabilah-kabilah Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu di tumpukan sendiri, lalu mereka membangun Ka’bah
hingga tahap pembangunan sampai pada bagian sudut
(tempat Hajar Asward).
Setiap kabilah berkeinginan untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut ke sudut itu. Sampai masing-masing kabilah
membuat barisan tersendiri, karena mereka berselisih
dan bersiap siaga untuk berperang.

Bangsa Quraisy menghentikan pembangunan
sampai selesai perselisihan ini selama 4 atau 5 hari.
Kemudian mereka berkumpul di masjid untuk
bermusyawarah dan saling bertukar pendapat.

Sebagian ahli riwayat menduga bahwa Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum (pada tahun itu adalah orang Quraisy yang paling dituakan) berkata: “Wahai bangsa Quraisy, serahkanlah urusan yang kalian perselisihkan (memindahkan Hajar Aswad ke sudut Ka’bah) kepada orang yang pertama masuk masjid ini, biarlah ia yang memutuskan perselisihan ini.” Lalu mereka menyetujuinya.

Ternyata orang yang pertama kali masuk pintu masjid itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala mereka melihatnya, mereka berkata, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kami ridha dengan Muhammad.”

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di hadapan, mereka memberitahukan kepada beliau tentang duduk persoalannya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah aku sehelai kain.”
Lalu beliau membawa kain tersebut dan
meletakkan Hajar Aswad di atas kain dengan tangannya
kemudian bersabda:
“Hendaklah setiap kabilah memegang setiap sudut kain ini.”

Lalu mereka serentak mengangkatnya dan
membawanya hingga sampai di dekat sudut Ka’bah,
kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya pada tempatnya, kemudian pembangunan diteruskan.

Sumber: Sejarah Kota Mekah
oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury
Foto: Urgensi Mekah al-Mukaramah 
                       dan 
Kedudukannya dalam Islam 


Sejarah perkembangan kota Mekah

Mekah adalah tanah haram,
 negeri yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala 
dan juga Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 kiblatnya kaum muslim. Dambaan hati mereka
 dan tempat mereka beribadah haji dan
 tempat mereka berkumpul.

 Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengukuhkannya
 sebagai tanah haram yang dihormati, sejak langit 
dan bumi diciptakan. Di sana ada Ka’bah, 
tempat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala 
yang pertama di muka bumi. 
Baitul Atiq diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemuliaan 
dan keharaman. Di dalamnya terdapat rasa aman, 
bahkan rasa aman ini juga dimiliki
 oleh pepohonan dan tumbuh-tumbuhan 
dengan larangan memotongnya, 
burung-burung tidak boleh diusir, dan
 Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala 
amal kebaikan di dalamnya lebih utama 
daripada pahala amalan di tempat yang lain.

Shalat di dalamnya sama dengan 
100.000 (seratus ribu) shalat 
di tempat yang lain.
 Juga karena keagungan dan kehormatan Ka’bah, 
Mekah menjadi agung dan dihormati. 
Terlebih karena adanya rasa aman di dalamnya 
di saat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman 
dalam surah Ali Imran: 97

“Barang siapa memasukinya (baitullah itu)
 menjadi amanlah dia.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
 dengan negeri ini untuk menunjukkan 
kemahabesaran martabatnya.

 Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman
 dalam surah al-Balad: 1

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah).”

Di sana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah 
bumi Allah yang paling baik dan tanah
 yang paling dicintai Allah, 
andaikan aku tidak diusir darimu, 
niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Diriwayatkan dari Ka’ab radhiallahu ‘anhu,
 ia berkata,
 “Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih negeri-negeri, 
maka negeri yang paling dicintai 
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah 
negeri al-Haram.”



Pengukuhan Mekah Sebagai Tanah Haram

Mekah juga disebut dengan tanah haram
 yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah 
_shallallahu ‘alaihi wa sallam_, bahwa 
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Mekah 
sebagai tanah haram 
semenjak Dia menciptakan langit dan bumi.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
 ia berkata,
 ‘Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan 
kemenangan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menaklukkan kota Mekah, 
lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri 
di hadapan orang-orang, kemudian beliau mengucapkan alhamdulillah dan memuji asma Allah, 
lalu bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala 
telah menghalangi tentara bergajah masuk ke Mekah,
 dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menaklukkan Mekah
 untuk Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman 
dan sesungguhnya tidak dihalalkan bagi orang sebelumku
 untuk menyerbu Mekah, hanya dihalalkan satu saat saja 
khusus untukku pada hari ini, dan 
sesungguhnya tidak dihalalkan lagi 
untuk siapapun setelahku.
 Maka dilarang mengusir hewan buruannya, 
dilarang memotong tumbuh-tumbuhannya 
dan barang yang tercecer tidak halal dipungut
 kecuali bagi orang yang berniat mencari pemiliknya. 
Dan siapa yang keluarganya mati dibunuh, 
maka mereka mempunyai dua pilihan; 
menerima diyat (denda 100 ekor unta)
 atau qishash.”

Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: 
“Kecuali izkhir (sejenis rumput),
 wahai Rasulullah?, sesungguhnya kami 
mengambilnya untuk diletakkan 
di kubur dan di rumah,” 
lalu 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Kecuali izkhir.” Muttafaq alaih.
Batas Tanah Haram

Orang yang pertama meletakkan batas tanah haram adalah N
abi Ibrahim al-Khalil , Nabi Ibrahim menancapkan tapal di batas tanah haram. Malaikat Jibril yang memperlihatkan kepadanya, kemudian tapal ini tidak diganggu-gugat hingga pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat fathu Mekah (penaklukan kota Mekah), beliau mengutus Tamim bin Asad al-Khuza’i radhiallahu ‘anhu untuk memperbaharui tapal tersebut. Tanda ini juga tidak diganggu-gugat hingga pada masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah. Ia mengutus orang-orang Quraisy untuk memperbaharui tapal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Baitul al-Atiq (Ka’bah) sebagai tanah haram untuk memuliakannya, sehingga terdapat rasa aman yang juga dirasakan oleh burung dan pepohonan, pahala amalan di daerah ini diberikan oleh Allah lebih baik dari daerah lainnya, batas tanah haram tersebut mengitari kota Mekah al-Mukaramah sebagian batasnya lebih dekat ke Ka’bah. Saat ini ditancapkan tapal batas haram di jalan-jalan utama yang menuju ke Mekah, yaitu:

    Arah Barat, jalan Jeddah-Mekah, di asy-Syumaisi (Hudaibiyah), yang berjarak; 22 km dari Ka’bah.
    Arah Selatan, di Idha’ahiben, jalan Yaman-Mekah untuk yang datang dari Tihamah, yang berjarak; 12 km dari Ka’bah.
    Arah timur, di tepi lembah Uranah Barat, yang berjarak; 15 km dari Ka’bah.
    Arah timur laut, jalan Ji’ranah dekat dari kampung Syara’i al-Mujahidin, berjarak: 16 km dari Ka’bah.
    Arah utara, batasnya adalah Tan’im, yang berjarak; 7 km dari Ka’bah.

Kemuliaan Tanah Haram

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
 dalam surah Ali Imran: 97

“Dan siapa yang masuk ke dalamnya (Baitullah), 
maka amanlah ia.”

Yakni tanah haram Mekah. Bila seorang yang merasa ketakutan memasukinya, ia akan merasa aman dari segala keburukan. Hal ini telah ada semenjak zaman jahiliyah, bila seorang laki-laki membunuh seseorang, kemudian ia masuk ke Masjidil Haram lalu anak dari korban pembunuhan tersebut bertemu dengannya, maka anak tersebut tidak akan mengganggunya sama sekali hingga si pembunuh keluar darinya.

Telah terjadi kesepakatan para ulama (ijma) bahwa siapa yang berbuat suatu tindak pidana di tanah haram, maka ia tidak mendapatkan rasa aman tersebut karena ia telah merusak kehormatan tanah haram. Adapun apabila seseorang melakukan tindak pidana di luar kawasan ini kemudian ia mencari suaka ke tanah haram, maka haruslah bagi setiap kaum muslimin memboikot orang tersebut hingga orang itu keluar dari tanah haram, lalu dilaksanakan hukum had terhadap orang tersebut.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Siapa yang melakukan suatu tindak kejahatan, kemudian datang ke Baitullah agar mendapat perlindungan, maka dia aman, dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin memberi hukuman padanya, hingga dia keluar dari tanah haram, dan apabila dia telah keluar, maka dibolehkan menghukumnya.”
Nama-nama Mekah

Negeri yang mulia dan tanah haram yang agung ini memiliki banyak nama, hampir mencapai 50 nama. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi nama kota ini dengan 5 nama: Mekah, Bakkah, al-Balad (berarti: kota), al-Qaryah (berarti: negeri), Ummul Qura (berarti: ibu negeri).

Adapun nama Mekah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah.” (QS. Al-Fath: 24)

Adapun nama Bakkah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya rumah pertama yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

Adapun pemberian nama al-Balad, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (QS. al-Balad: 1)

“Aku benar-benar bersumpah dengan Balad (kota) ini.” Yakni: Mekah.

Kata “al-Balad” secara etimologi berarti: bagian tengah dari sebuah negeri.

Adapun penamaan kota ini dengan al-Qaryah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (QS. An-Nahl: 11)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram.”

Kata “Qaryah” berarti suatu tempat yang menghimpun manusia dalam jumlah yang besar. Makna asal kata ini adalah: menghimpun.

Dan penamaannya dengan Ummul Qura disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS. Al-An’am: 92):

“Dan agar engkau membari peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura.” Yakni Mekah.

Mekah juga memiliki nama-nama lain seperti:
 Nassasah, al-Hathimah, al-Haram, Shalah, 
al-Basah, Ma’az, Ar Ra’as, al-Balad al-Amiin, 
Kuusa, dan banyak lagi yang lainnya.


Keutamaan Mekah

Hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan Mekah dan kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sangat banyak tak terhitung jumlahnya.

Di antaranya; hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Adi bin al-Hamra radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Mekah (beliau sedang berada di atas ontanya di Hazwarah):

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah, andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Hadis di atas adalah hadis yang paling shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, dan menjadi dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwasanya Mekah adalah negeri yang paling mulia dari seluruh negeri di permukaan bumi.

Cukuplah sebagai bukti menunjukkan tentang keutamaan Mekah, bahwa shalat di Masjidil Haram pahalanya dilipatgandakan berlipat-lipat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Satu shalat di masjidku ini lebih dari 1.000 shalat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram sekali lebih baik dari 100.000 shalat di tempat yang lain.”

Apabila kita hitung keutamaan satu shalat di Masjidil Haram berdasarkan petunjuk hadis ini dilipat-gandakan menjadi 100.000 shalat di tempat lain, berarti satu shalat di Masjidil Haram sama dengan shalat selama 55 tahun 6 bulan 20 hari, dan shalat sehari semalam (shalat lima waktu) sama dengan  277 tahun 9 bulan 10 hari.

Teks hadis yang menjelaskan bahwa pahala shalat dilipatgandakan, berarti amalan yang lain juga dilipatgandakan menjadi 100.000 kebajikan. Al-Muhib at-Thabari rahimahullah berkata: “Hadis-hadis yang menjelaskan perlipatgandaan pahala shalat dan puasa menunjukkan adanya kelipatan pahala pada setiap amalan, diqiyaskan dengan shalat dan puasa.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “puasa sehari di Mekah sama dengan puasa 100.000 hari, sedekah 1 dirham sama dengan 100.000 dirham, dan setiap kebajikan digandakan menjadi 100.000.”

Akan tetapi dua sayarat amalan digandakan pahalanya, yaitu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut sesuai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebaliknya dosa juga dilipatgandakan di sini, maka seharusnya seorang muslim menghindarkan diri dari berbuat maksiat di Mekah.

Mujahid rahimahullah berkata, “Dosa berbuat kejahatan di Mekah dilipatgandakan seperti amalan kebajikan yang dilipatgandakan.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya, apakah ada sebuah dosa yang ditulis lebih dari satu?, Ia menjawab: “Tidak ada kecuali bila ia dilakukan di Mekah, karena agungnya negeri ini.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga mengatakan hal yang sama: “Jikalau seseorang berkeinginan membunuh seorang mukmin di Baitullah dan dia masih berada jauh di Aden (nama kota di Yaman), Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada orang tersebut azab yang pedih di dunia.”
Tinggal di Mekah

Tinggal di Mekah dianjurkan, karena setiap amal kebajikan dan ketaatan di sana digandakan pahalanya. Dan hal ini telah dilakukan oleh para teladan kita, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf yang tidak terhitung jumlah mereka.

Dan dalil yang paling kuat yang menjelaskan keutamaan tinggal di Mekah adalah: keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menetap di Mekah, dan juga keinginan Bilal radhiallahu ‘anhu untuk kembali ke Mekah dalam bait sya’irnya.

Ungkapan yang paling tepat tentang anjuran pindah ke Mekah dan tinggal di sana, perkataan Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf: “Sungguh kami telah mencoba dan juga orang-orang sebelum kami, maka kami tidak mendapatkan setelah berputar mengelilingi daerah-daerah (yang membantu untuk mengekang nafsu, menentang syahwat, memusatkan hati, mengonsentrasikan pikiran, mendorong untuk qana’ah, mengusir setan, jauh dari cobaan dan bala, dan melakukan perintah agama dengan seksama) selain tinggal di tanah haram, berdampingan dengan Baitullah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan hal tersebut, dan memberikan kesabaran dan rasa syukur.”
Bentuk Ka’bah al-Musyarafah, Sejarah Pembangunan dan Pemugarannya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci itu 
sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) manusia.”
 (QS. Al-Maidah: 97)

Ka’bah adalah: Baitullah al-Haram yang berada di tengah masjid, dan sebab dinamakan Ka’bah yaitu: 
seperti yang diriwayatkan oleh Azraqi dan Abu Nujaih, 
ia berkata: “Dinamakan Ka’bah karena bentuknya segi empat seperti kubus, maka diberi nama bangunan tersebut dengan Ka’bah karena berbentuk bujur sangkar.” Demikian juga menurut Ikrimah dan Mujahid rahimahumallah

Ada yang berpendapat: 
dinamakan Ka’bah karena ketinggiannya 
dan berdiri menjulang.

Juga dinamakan: Bait al-Atiq yang berarti: rumah yang terbebaskan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskannya dari tangan kekuasaan para durjana. Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Dinamakan Bait al-Atiq karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan para pemimpin zalim menguasainya.”
Pembangunan Mekah

Ka’bah dibangun lebih dari sekali, yang masyhur (populer) bahwa Ka’bah dibangun lima kali;

Pertama: Dibangun oleh para malaikat.

Kedua: Dibangun oleh Nabi Adam.

Ketiga: Dibangun oleh Nabi Ibrahim.

Keempat: Dibangun oleh bangsa Quraisy pada masa jahiliyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut andil membangunnya saat itu umur beliau 25 tahun.

Kelima: Dibangun oleh Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu.
Ibrahim dan Ismail Membangun Ka’bah

Ketika Nabi Ismail lahir dari rahim ibunya Hajar, rasa cemburu Sarah bertambah, dan dia meminta Nabi Ibrahim al-Khalil membawa jauh Hajar dari hadapannya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Ibrahim agar membawa Hajar keluar dari Palestina menuju Mekah al-Musyafarah. Lalu Nabi Ibrahim membawa istri dan putranya menempuh perjalanan jauh, hingga sampai di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan Mekah, lalu menempatkan mereka di sana.

Setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan putranya di Mekah, dia pernah berkunjung untuk mengetahui keadaan mereka, dalam salah satu kunjungannya Nabi Ibrahim menemui putranya Ismail sedang mengasah anak panahnya di bawah sebuah pohon yang rindang di dekat zam-zam.

Tatkala Ismail melihat ayahnya, dia langsung berdiri menyambutnya, lalu mereka berpelukan layaknya seorang putra kepada ayahnya dan ayah kepada putranya, kemudian Nabi Ibrahim berkata: “Wahai Ismail sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku perintah.”

-          Ismail berkata: “Lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu.”

-          Ibrahim berkata: “Maukah engkau membantuku?”

-          Ismail berkata: “Aku akan membantumu.”

-          Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkanku untuk membuat rumah ibadah di sini” (sambil mennjuk ke sebuah anak bukit sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah sekitarnya).

Kemudian keduanya mulai membangun pondasinya, Nabi Ismail mencari dan mengangkat batu, sedangkan Nabi Ibrahim yang memasangnya.

Hingga dinding bangunan mulai tinggi, Nabi Ibrahim mengambil batu (yang sekarang dikenal dengan maqam Ibrahim), lalu meletakkannya dan berdiri di atas batu tersebut untuk memasang batu di bagian atas, dan Nabi Ismail memberikan batu dari bawah.

Kemudian mereka berkata:

“Ya Tuhan kami, terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Lalu mereka thawaf (berputar) mengelilingi bangunan tersebut.
Quraisy Membangun Ka’bah

Beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul, batu-batu dinding Ka’bah bagian atas sudah mulai pecah dan berserakan. Tingginya yang tidak terlalu jauh dari ukuran orang berdiri, membuat orang dapat dengan mudah memanjatnya lalu mencuri barang berharga yang terdapat di dalamnya.

Quraisy berkeinginan untuk meninggikan dinding Ka’bah dan memberinya atap. Pada saat yang sama di Jeddah, ada kapal milik pedagang Roma yang dihempaskan ombak ke pantai lalu pecah. Kaum Quraisy mengambil kayunya untuk dipersiapkan menjadi atap Ka’bah.

Tetapi orang-orang yang merasa takut untuk mulai menghancurkan Ka’bah, hingga al-Walid bin al-Mughirah memberanikan diri untuk memulai menghancurkannya.
 Ketika orang-orang melihat al-Walid tidak mengalami apa-apa, mereka baru berani menghancurkannya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Meletakkan Hajar Aswad

Kemudian kabilah-kabilah Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu di tumpukan sendiri, lalu mereka membangun Ka’bah 
hingga tahap pembangunan sampai pada bagian sudut
 (tempat Hajar Asward).
 Setiap kabilah berkeinginan untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut ke sudut itu. Sampai masing-masing kabilah
 membuat barisan tersendiri, karena mereka berselisih
 dan bersiap siaga untuk berperang.

Bangsa Quraisy menghentikan pembangunan
 sampai selesai perselisihan ini selama 4 atau 5 hari. 
Kemudian mereka berkumpul di masjid untuk 
bermusyawarah dan saling bertukar pendapat.

Sebagian ahli riwayat menduga bahwa Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum (pada tahun itu adalah orang Quraisy yang paling dituakan) berkata: “Wahai bangsa Quraisy, serahkanlah urusan yang kalian perselisihkan (memindahkan Hajar Aswad ke sudut Ka’bah) kepada orang yang pertama masuk masjid ini, biarlah ia yang memutuskan perselisihan ini.” Lalu mereka menyetujuinya.

Ternyata orang yang pertama kali masuk pintu masjid itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala mereka melihatnya, mereka berkata, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kami ridha dengan Muhammad.”

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di hadapan, mereka memberitahukan kepada beliau tentang duduk persoalannya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah aku sehelai kain.”
 Lalu beliau membawa kain tersebut dan 
meletakkan Hajar Aswad di atas kain dengan tangannya 
kemudian bersabda: 
“Hendaklah setiap kabilah memegang setiap sudut kain ini.”

Lalu mereka serentak mengangkatnya dan 
membawanya hingga sampai di dekat sudut Ka’bah, 
kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya pada tempatnya, kemudian pembangunan diteruskan.

Sumber: Sejarah Kota Mekah 
oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Urgensi Mekah al-Mukaramah dan Kedudukannya dalam Islam
Ditulis oleh Tri Rahmanto
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://tritrue.blogspot.com/2013/01/urgensi-mekah-al-mukaramah-dan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

1 komentar:

Tri Rahmanto mengatakan...

Mudah2an kita semua bisa segera berkunjung ke Baitullah,,, Aminnn

Posting Komentar