Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
hingga akhir zaman.
Sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah
daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan.
Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada
Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka
janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan
demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir
Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena
perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)
Jika Tidak Memperoleh Sesuai yang Diinginkan, Janganlah Katakan: “Seandainya Aku Lakukan Demikian dan Demikian, pasti ...”
Lalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “
Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’”
Maksudnya di sini adalah setelah engkau semangat dan giat melakukan
sesuatu, juga engkau tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, serta
engkau terus melakukan amalan tersebut hingga usai, namun ternyata hasil
yang dicapai di luar keinginan, maka janganlah engkau katakan: “
Seandainya aku melakukan demikian dan demikian”.
Karena mengenai hasil adalah di luar kemampuanmu. Kamu memang sudah
melaksanakan sesuatu prosedur yang diperintahkan, namun Allah pasti
tidak terkalahkan dalam setiap putusan-Nya.
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“
Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)
Misalnya: Seseorang ingin melakukan perjalanan jauh dalam rangka
mengunjungi saudaranya. Namun di tengah jalan mobil yang dia gunakan
rusak. Akhirnya dia pun kembali, lalu berkata:
Seandainya aku tadi menggunakan mobil lain tentu tidak akan seperti ini. Kami
katakan: Janganlah engkau katakan demikian. Engkau memang sudah giat
melakukan amalan tersebut. Seandainya Allah menghendakimu sampai ke
tempat tujuan, itu pun karena takdir-Nya. Akan tetapi saat ini, Allah
tidak menghendakinya.
Kenapa Tidak Boleh Mengatakan “Seandainya Aku Melakukan Demikian dan Demikian, pasti ...”?
Jika seseorang telah mencurahkan seluruh usaha untuk melakukan suatu
amalan, namun hasil yang diperoleh tidak sesuai keinginan, maka pada
saat ini hendaklah ia menyandarkan segala urusannya pada Allah karena
hanya Dia-lah yang menakdirkan segalanya. Oleh karena itu, maksud hadits
ini adalah: “Jika engkau telah mencurahkan seluruh usahamu, juga tidak
lupa meminta pertolongan pada Allah, lalu hasilnya tidak tercapai, maka
janganlah engkau katakan: ‘
Seandainya aku melakukan demikian, maka nanti akan demikian dan demikian’.”
Ketetapan mengenai hal ini telah ada, tidak mungkin hal tersebut
dirubah kembali. Urusan tersebut telah ditetapkan di Lauh Al Mahfuzh
sebelum penciptaan langit dan bumi 50.000 tahun yang lalu.
Apa hikmah tidak boleh mengatakan ‘
Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian’? Hal ini diterangkan dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya, “
Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” Maksudnya apa? Yaitu perkataan
law (seandainya)
dalam keadaan seperti ini akan membuka rasa was-was, sedih, timbul
penyesalan, dan kegelisahan. Akibatnya karena rasa sedih semacam ini,
engkau pun mengatakan, “
Seandainya aku melakukan demikian, maka pasti akan demikian dan demikian”.
Apakah Semua Perkataan Seandainya Terlarang?
Kata ‘law (seandainya atau andaikata)’ biasa digunakan dalam beberapa
keadaan dengan hukum yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana
dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam
Qoulul Mufid (2/220-221), juga oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam
Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada beberapa contoh dari kami.
Pertama: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk
memprotes syari’at, dalam hal ini hukumnya
haram. Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap harinya.”
Kedua: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk
menentang takdir, maka
hal ini juga hukumnya
haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini.”
Ketiga: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk
penyesalan,
ini juga hukumnya haram. Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak
ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut.”
Keempat: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk
menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat, maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ
“
Dan mereka berkata: "Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)".” (QS. Az Zukhruf: 20)
Kelima: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk
berangan-angan, ini dihukumi sesuai dengan yang diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.
Jadi, apabila yang diangan-angankan adalah sesuatu yang jelek dan
maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya
terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya:
“Seandainya saya kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa
berzina dengan gadis-gadis cantik dan elok.”
Namun, apabila yang dianggan-angankan adalah hal yang baik-baik atau
dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya:
“Seandainya saya punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham masalah
agama”. Atau kalimat lain: “Seandainya saya punya banyak harta seperti
si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak
berderma.”
Keenam: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan hanya
sekedar pemberitaan,
maka ini hukumnya boleh. Contoh: “Seandainya engkau kemarin menghadiri
pengajian, tentu engkau akan banyak paham mengenai jual beli yang
terlarang.”
Haruslah Engkau Yakin, Semua Ini Adalah Takdir Allah
Setelah kita berusaha melakukan yang bermanfaat, lalu tidak lupa
memohon pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan sesuatu yang
diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan: “
Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, ...” Oleh karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “
Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah”. Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan ketetapan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti Dia laksanakan.
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”(QS. Huud: 107)
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya mencegah kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi.
Akan tetapi, wajib engkau tahu bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak
melainkan sesuatu melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita
ketahui atau pun sebenarnya kita tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah
firman Allah
Ta’ala,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al Insan: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak Allah berkaitan dengan hikmah
dan ilmu. Betapa banyak perkara yang terjadi pada seseorang, namun di
balik itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula Allah Ta’ala berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)
Banyak cerita mengenai hal ini. Ada sebuah kejadian kecelakaan
pesawat terbang di Saudi Arabia yaitu penerbangan Riyadh-Jeddah.
Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah lebih dari
300 penumpang. Salah satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada
saat itu sedang menunggu di ruang keberangkatan, namun ketika itu dia
tertidur. Kemudian diumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat.
Ketika pria yang tertidur itu terbangun, ternyata pintu pesawat telah
tertutup kemudian pesawat pun lepas landas. Akhirnya, pria tadi sangat
sedih karena ketinggalan pesawat. Kenapa dia bisa ketinggalan pesawat?
Namun, Allah memiliki ketetapan yaitu di tengah perjalanan ternyata
pesawat tersebut mengalami kecelakaan. Subhanallah, laki-laki tersebut
ternyat yang selamat. Awalnya dia sedih dan tidak suka karena
ketinggalan pesawat.
Namun ternyata hal itu baik baginya.
Oleh karena itu –saudaraku-, jika engkau telah mencurahkan seluruh
usaha dan engkau meminta pertolongan pada Allah, namun hasil yang
dicapai tidak seperti yang engkau inginkan, janganlah engkau merasa
sedih hati. Janganlah engkau mengatakan, “Seandainya aku melakukan
demikian dan demikian, pasti akan ...”. Jika engkau mengatakan seperti
ini, maka akan terbukalah pintu setan. Engkau pun akan merasa was-was,
gelisah, sedih, dan tidak bahagia. Yang sudah terjadi memang sudah
terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan semua urusanmu pada Allah ‘azza wa
jalla. Oleh karena itu, katakanlah, “
Apa yang Allah kehendaki, pasti terlaksana”.
Mengambil Sebab Bukan Berarti Tidak Tawakkal
Hadits ini juga menunjukkan beriman kepada takdir dan ketetapan
Allah, di samping itu kita harus melakukan usaha (sebab). Dua hal inilah
yang merupakan kaedah pokok yang ditunjukkan dalam dalil yang amat
banyak dalam Al Kitab dan As Sunnah. Keadaan agama seseorang tidaklah
sempurna melainkan dengan meyakini takdir dan melakukan usaha. Segala
macam perkara pun tidak akan sempurna melainkan dengan dua hal ini.
Karena maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersemangatlah
dalam hal yang bermanfaat bagimu, ...”, ini maksudnya adalah perintah
untuk melakukan usaha baik dalam urusan dunia maupun agama.
Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ
أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ
كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
”
Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh
Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki.
Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali
sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310)
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan
usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang
memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi
hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini
–wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan
pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian
melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya,
maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi
pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang.
Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh,
dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan
baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.” (Darul
Falihin, 1/335)
Al Munawi juga mengatakan,”Burung itu pergi pada pagi hari dalam
keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun,
usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah
Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus
meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang
akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan
rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari
rizki. (Lihat
Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya
duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan,”Aku tidak
mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad
mengatakan,”Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda,”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan
tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
(sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa
burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam
rangka mencari rizki. (Lihat
Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69)
Tak Pernah Usai
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Seandainya, kalau
kita menelusuri terus kandungan hadits ini, niscaya kita akan dapati
faedah yang amat banyak. Namun itulah manusia, terkadang mereka
melanggar wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berharga
ini.
Pertama, sebagian kita kurang bersemangat melakukan hal yang
bermanfaat baginya, malah semangat jika melakukan hal yang berbahaya
atau hal yang tidak ada bahaya dan manfaat. Siang dan malam hanya dia
lewati dengan sia-sia, tanpa faedah, dan sirna begitu saja.
Kedua, jika dia memang melakukan hal yang bermanfaat, lalu dia tidak
memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, akhirnya dia akan
menyesal. Perlahan-lahan keluar dari lisannya, “Seandainya saya
melakukan ini dan ini, pasti akan ...”. Sikap semacam ini tidaklah
tepat. Selama seseorang sudah berusaha melakukan yang bermanfaat baginya
dan tidak lupa meminta kemudahan dari Allah untuk menyelesaikan urusan
tersebut, maka serahkanlah semuanya pada Allah.”
Referensi:
- Bahjatu Qulub Al Abror wa Qurrotu ‘Uyuni Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Maktabah ‘Abdul Mushowwir Muhammad ‘Abdullah, cetakan pertama 1425 H.
- Dalilul Falihin Li Thuruqi Riyadhis Sholihin, Muhammad ‘Ali bin Muhammad bin ‘Allan Asy Syafi’iy, Asy Syamilah
- Qoulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama 1425 H.
- Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Mawqi’ Jami Al Hadits An Nabawi
- Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah
- Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Asy Syamilah
****
Disusun di saat Allah memberikan rahmat hujan, di saat hati gundah gulana
Di rumah mertua tercinta, Panggang, Gunung Kidul, sore hari, 7 Rabi’ul Akhir 1430 H
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com