Barzanji Kitab Induk Peringatan Maulid Nabi

Posted by Tri Rahmanto Rabu, 30 Januari 2013 0 komentar
                                                                                                                  Oleh: Al-Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin, Lc                               

Seputar Kitab Barzanji

Secara umum peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan sholawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung Qasidah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang diawali dengan dengan membaca kitab Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasidah Burdah.
Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulid Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak diantara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya:
Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga:
1. Cerita tentang perjalanan hidup Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan sastra bahasa yang tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2. Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan)
3. Sholawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan sholawat bid’ah dan sholawat-sholawat yang tidak berasal dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Penulis Kitab Barzanji
Kitab Barzanji ditulis oleh Ja’far al-Barzanji al-Madani, dia adalah khatib di Masjidil Haram dan seorang mufti dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan diatara karyanya adalah Kisah Maulid Nabi Shalallahu’alahi wa sallam (Al-Munjid fii al A’laam, 125)
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermahzab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Ini dibuktikan dalam do’anya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahra di bumi Nu’man”. (Majmuatul Mawalid, hal. 132)
Kesalahan Umum Kitab Barzanji
Kesalahan kitab Barzanji tidak separah yang ada pada kitab Daiba’ dan Qasidah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Quran. Bahkan, dianggap lebih mulia daripada al-Quran. Padahal, tidak ada nash syar’i yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba’ atau Qasidah Burdah.
Sementara, membaca al-Quran yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Quran apalagi pada saat perayaan maulid Nabi. Padahal Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa membaca 1 huruf dari al-Quran maka dia akan mendapatkan 1 kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf. Tetapi, Alif 1 huruf, Laam 1 huruf, Miim 1 huruf .” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam shahihul jam’i hadist ke 6468)
Kesalahan Khusus Kitab Barzanji
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain :
Pertama : Penulis kitab Barzanji menyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam termasuk ahlul iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.

وَقَدْ أَسْبَحَاوَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِ يْمَانِ

وَجَاءَلِهَذَا فِي اْلحَدِيْثِ شَوَا هِدُ

وَمَالَ إِلَيْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ

فَسَلَّمْ فَإِنََّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُهُ

وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَ شْعَرِيَ لَمُثْبِتُ

نَجَاتَهُمَانَصَّابِمُحْكَمِ تِبْيَانِ

“Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Ta’ala termasuk ahli iman
Dan telah datang dalil dari hadist sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat ini
Maka ucapkanlah salam, karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesugguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Quran).” (Lihat Majmuatul Mawalid Barzanji, hal 101)
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadist dari Anas radliyallahu’ahu:
Bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shalallahu’alahisasalam bersabda “Dia berada di neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau memanggilnya dan bersabda : “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka”. (HR. Muslim dalam shahihnya (348) dan Abu Daud dalam sunannya (4718))
Imam Nawawi berkata : “Makna hadits ini adalah bahwa, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan kedekatan kerabat tidak berguna baginya. Begitu juga orang Arab penyembah berhala yang mati pada masa fatrah (jahiliyah), maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyimpangan dakwah mereka, kaena sudah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim ‘alahissalam dan yang lainnya.” (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi. 3/74)
Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shalallahu’alahisasalam dan keduanya beriman dan selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shahih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Daruquthni, al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khatib, Ibnu Asaki, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurtubi, ath-Tabhari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam Suyuthi berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu’alahi wa sallam beriman dan selamat dari Neraka, namun hal ini menyelisihi para hafidz dan para ulama peneliti hadist. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))
Kedua : Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka meyakini bahwa Rasulullah hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyam (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyam (berdiri) mambaca :

مَرْحَبًَايَامَرْحَبًَا يَامَرْحَبًَا

مَرْ حَبًَايَاجَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًَا

“Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang”
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik? Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan Maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Ta’ala di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.

يَانَبِنيْ سَلاَمٌُ عَلَيْكَ

يَارَسُوْل سَلَمٌُ عَلَيْكَ

يَاحَبِبُ سَلاَمٌُ عَلَيْكَ

صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ

“Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.”
Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisional” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati.
Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketiak bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau. Bukankah Nabi Muhammad Shalallahu’alahisasalam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain? (Lihat Fikh Tradisional, Muhyiddin Abdusshamad (277-278))
Ini adalah qiyas yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu’alahi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shalallahu’alahisasalam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi.
Di samping itu, kehadiran Rasul Shalallahu’alahisasalam ke dunia merupakan keyakinan bathil karena termasuk perkara gaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Ta’ala, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi Shallallahu’alahi wa sallam terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan mencintainya.
Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu’alahi wa sallam. Demikian juga dengan cara perayaan maulid Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.
Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu’alahi wa sallam adalah para shahabat, sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ud kepada kaum Quraisy :
“Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada Kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang Raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad. Tidaklah Muhammad meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka.” (HR. Bukhari : 3/187, no. 2731, 2732, al-Fath 5/388)
Bentuk pengagungan para shahabat kepada Nabi Shallallahu’alahi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu’alahi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulid tersebut berdalih dengan hadits Nabi Shalallahu’alahisasalam, “Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian” (Shahih HR. Bukhari-Muslim dalam shahihnya), maka alasan ini tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan, (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313). Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul kepada orang-orang Anshar agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Mu’adz radliyallahu’anhu turun dari keledainya, karena ia sedang terluka parah, bukan menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan. (Lihat Ikmalil Mu’lim bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi ‘Iyadh, 6/105).
Ketiga : Penulis Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu’alahi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

فِيكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ

يَابَشِيْرُ يَانَذِيْرُ

فَأَغِثْنِيْ وَ أَجِن

يَامُجِيْرُمِنَ السَّعِيْرِ

يَاغَيَاثِيْ يَامِلاَذِيْ

فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ

“Padamu sungguh aku telah berbaik sangka.
Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku.
Wahai pelindung dari neraka sa’ir.
Wahai penolongku dan pelindungku.
Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)”
Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Ta’ala dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau dan bersumpah dengan nama beliau merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik.
Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu’alahi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu Tauhid. Nabi telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut., sehingga beliau Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
“Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. AKu hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Bukhari dalam shahihnya 3445)
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa ‘alahissalam sebagai sekutu bagi Allah dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Ta’ala, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu’alahi wa sallam telah memberi peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya :
“Janganlah kalian jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah shalawat atasku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku dimanapun kaum berada”. (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih (2042) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram : 125)
Nabi Shallallahu’alahi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shalallahu’alahisasalam, mereka berkata :
“Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engakau adalah orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda kepada mereka : “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan mengelincirkanmu.” (Shahih, disahhihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram 127, lihat takhrij beliau di dalamnya).
Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampaui batas terhadap Nabi adalah bersumpah dengan anma beliau, karena adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Ta’ala, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari-Muslim dalam shahihnya 2679 dan 1646)
Cukuplah dengan hadist tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu’alahi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadist tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
Keempat : Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu’alahi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji menganggap bahwa membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Ta’ala

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56)
Ayat ini yang mereka jadikan dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulid Nabi Shallallahu’alahi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulid Nabi Shallallahu’alahi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bershalawat atas Nabi Shallallahu’alahi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu’alahi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan shalawat atas Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, karena :
1) Terkena doa Nabi Shallallahu’alahi wa sallam yaitu sabda beliau : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku disisnya, namun ia tidak bershalawat atasku.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/254, At-Tirmidzi dalam Sunannya 3545 dan dishahihkanoleh al-Albani dal ‘Irwa : 6)
2) Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu’alahi wa sallam, beliau bersabda : “Orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku disisinya, ia tidak bershalawat atasku”. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya 3546, Ahmad dalam Musnadnya 1/201, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ‘Irwa : 5)
3) Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Ta’ala, karena meninggalkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Nabi bersabda : “Barangsiapa membaca shalawat atasku skali, maka Allah Ta’ala bershalawat atasku 10 kali”. (HR. Imam Muslim dalam Shahinya 284)
4) Tidak mendapatkan keutamaan shalawat dari Allah Ta’ala dan para malaikat. Allah Ta’ala berfirman : “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang teramg dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”(QS. Al Ahzab 33:34)
Bahkan membaca shalawat menyebabkan hati menjadi lembut, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tentram dan damai sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dangan mengingat Allah Ta’ala. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.(QS. Ar-Ra’du 13:28).
Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khurafat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketentraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Ta’ala. Siksaan tersebut bukan karena mambaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulid Nabi Shallallahu’alahi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap syariat.
Kelima : Penulis kitab Barzanji juga meyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya :

وَمَازَالَ نُوْرُالْمُسْطَفَى مُتَنَقِّلاًَ

مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطَاهِرِأَرْدَانٍِ

“Nur musthafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni”
Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata : “Nabi Shallallahu’alahi wa sallam memilik cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut”.
Demikian juga perkataan Ibnu Arabi Attha’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam ‘alahissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam yaitu penutup para Nabi. (Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasulullah oleh Abdur Rauf Utsman (169-192))
Perlu diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah.
Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan merek seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa ‘alahissalam, seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip Trinitas mereka. Bahkan mereka adalah kepunyaan Allah Ta’ala dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun, mereka menyembah Tuhan-Tuhan mereka dengan keyakinan bahwa Tuhan-Tuhan mereka itu mempu memberi syafaat dan menolong mereka. Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalah kitab Barzanji, semoga bermanfaat.
Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12 Th. XII Rabiul Awal 1430/Maret 2009 oleh: Al-Ustadz Zainal Abidin, Lc
Sumber: http://almanhaj.or.id/

Baca Selengkapnya ....

Inkar Sunnah Sudah Ada Sejak Dahulu

Posted by Tri Rahmanto 46 komentar
Ustadz Zaenal Abidin, Lc.
MEREKA YANG MENOLAK SUNNAH
Saudaraku seiman, sebetulnya orang yang menolak sunnah karena logika dan dorongan hawa nafsu sudah ada sejak lama dan termasuk bahaya pemikiran sesat yang banyak meracuni umat Islam zaman sekarang, adalah penolakan terhadap Sunnah yang dimotori kelompok Zindiq yang berlindung di bawah ketiak Mu’tazilah. Dengan sistematik mereka menjadi mesin penghancur Islam, yang merupakan karakter musuh-musuh Allah. Ketika umat Islam dalam kondisi kuat maka mereka memilih taktik permusuhan menggunting dalam lipatan atau menjadi musuh dalam selimut.

Sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam telah mengabarkan, bahwa aliran atau faham Inkar Sunnah akan tumbuh dan menggeliat di tengah Ummat Islam, sebagaimana sabda Nabi:
Ketahuilah sesungguhnya aku telah diberi al-Kitab dan sepadan dengannya. Ketahuilah hampir-hampir ada seorang laki-laki makan kenyang yang bersandar di atas dipannya lalu berkata “Berpeganglah kalian dengan Al-Qur’an saja, bila kalian mendapati sesuatu yang halal di dalamnya maka halalkanlah dan bila kalian mendapati sesuatu yang haram di dalamnya maka haramkanlah”. Ketahuilah tidak halal bagimu daging keledai piaraan dan setiap hewan bertaring dari binatang buas.
(Shahih diriwayatkan Abu Daud dalam sunannya (4604), at Tirmidzi (2663), Ibnu Majah dalam sunannya (12), Imam Bukhary dalam al-Adabul Mufrad, (1228), at Thabrany dalam al-Mu’jabul Kabir (934) as-Syafi’i dalam al-Um (7/15, Imam al-Baihaqy dalam as-Sunanul Kubra (7/76), al-Marwazi dalam as-Sunnah (212), (354) dan (355) dan Ibnu Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra (62) serta Imam Ahmad dalam Musnadnya disahihkan As Sa’aty dalam Fathurrabbani (11) 1/1910 serta disahihkan Syaikh Al Bani dalam shahih Sunan Abu Daud (4604))
Prinsip dan cara beragama kelompok Inkar Sunnah sering menggulirkan isu-isu kontradiktif antara Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan mereka menganggap bahwa Sunnah sering menimbulkan pertentangan dan tidak seirama dengan Al-Qur’an. Sehingga seorang muslim dalam beragama lebih baik cukup mengambil Al-Qur’an saja tanpa As-Sunnah. Hal ini digambarkan oleh Nabi:
Hampir-hampir seorang laki-laki bersandar diatas dipannya mengada-ada dalam haditsku lalu berkata: Kita hanya berpegang pada Kitabullah, yang halal hanyalah yang kita temukan halal di dalamnya dan yang haram hanyalah yang kita temukan haram di dalamnya. Ketahuilah apa yang diharamkan Rasulullah sama seperti yang diharamkan Allah.
(Shahih diriwayatkkan Imam Ahmad dalam musnadnya (4/130/132), Ad-Darimi, (586), At-Tirmidzi (2664), al-Baihaqi (9/331) ia menghasankan, Ibnu Majah (12) dan al-Hakim dalam Mustadraknya (371) dan Marwazi dalam as-Sunnah (213) serta dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Al-Bani.)
Ketetapan Sunnah tidak mungkin meleset dan prediksi Rasul pasti terbukti. Sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnu Mubarak dari Imran bin Hushain, bahwa beliau pernah mendapati seseorang yang hanya mau menerima Al-Qur’an saja, maka beliau berkata:
Sesungguhnya engkau orang yang sangat pandir. Apakah kamu menemukan di dalam al-Qur’an jumlahnya rakaat shalat dhuhur yang empat rakaat dan cara membaca bacaan ketika Shalat dhuhur dengan suara lirih? Dan pasti kamu tidak akan menemukan di dalam Kitabullah.
Kemudian beliau menghitung seluruh jumlah rakaat shalat fardhu dan tata caranya serta cara pelaksanaan zakat maka beliau berkata kepada orang tersebut:
Apakah kamu mendapatkan semua perkara di atas secara rinci di dalam Kitabullah? Sungguh Kitabullah hanya menyebut secara global dan Sunnah nabi yang menjelaskan secara tuntas.
(Shahih diriwayatkan Abu Daud (1561), Thabrani dalam Al-Kabir (547), Ibnu Baththah (65-66) dan Al Ajiry dalam Asy-Syareah (91) serta Lihat Al Muwafaqaat, 4/21.)
AKAR HISTORIS PENOLAKAN TERHADAP SUNNAH
Setelah Zionis Yahudi mampu mengoyak kekuatan Islam, muncullah firqah ekstrim yang sangat lantang menolak Sunnah untuk membuat kekacauan di tengah umat. Sebenarnya gagasan tersebut terkesan sangat dipaksakan tanpa dibarengi kaidah akurat dan argumentasi yang kuat. Bahkan hanya sekedar mengikuti selera hawa nafsu dan rasa kebencian yang amat tinggi terhadap Islam, yang dipelopori oleh firqah Khawarij, Rafidhah dan Mu’tazilah. Merekalah bidan pertama yang melahirkan faham Inkar Sunnah dan agen nomer satu yang memasarkan racun ganas gerakan Zindiq, karena mereka tidak rela kalau Sunnah nabi tampil sebagai penafsir Al-Qur’an. Sebab menurut anggapan mereka, Rasulullah tidak berhak untuk menjelaskan Al-Qur’an.
(Lihat Al Asraniyuun Baina Mazaimit Tajdid wa Mayadinit Taghrib, Muhammad An Nasr. hal. 215. dan Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, Hartono Ahmad Jaiz. hal. 32.)
Namun di antara firqah bid’ah yang paling lantang menolak Sunnah secara total adalah Mu’tazilah. Tokoh-tokoh mereka dengan seenaknya seperti Washil bin ‘Atha’ menghujat Shahabat, sementara Amr bin Ubaid dengan mantap telah menyakini kefasikan para Shahabat. Bahkan an-Nadzdzam menuduh mereka sebagai tokoh pendusta, munafik dan pandir sehingga pernyataan tersebut secara otomatis memberikan penilaian negatif, bahkan menggugurkan semua hadits yang diriwayatkan para Shahabat. Sementara menurut Abu Hudzail hadits ahad tidak bisa menjadi hujjah dalam beragama kecuali bila diriwayatkan dua puluh perawi yang salah seorang di antara mereka telah dijamin masuk Surga. Bahkan an-Nadzdzam tanpa merasa malu mengingkari Ijma’, Qias dan Hadist Mutawatir sebagai hujjah.
MEREKA YANG MENOLAK SUNNAH ZAMAN SELARANG
Muhammad Abduh telah menghina Shahih al-Bukhari seluruhnya, beliau berkata:
Jika kamu renungkan dengan seksama bahwa tidak termasuk rukun Iman dan juga rukun Islam, seorang muslim harus mengimani semua hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, apapun temanya. Bahkan tidak ada seorangpun yang mensyaratkan sahnya keislaman seseorang atau untuk mengetahui Islam secara rinci harus membaca Shahih Bukhari dan mengakui semua hadits yang ada di dalamnya.
(Lihat Adhwa’ Alas Sunnah Muhammadiyah, Mahmud Abu Rayah, hal. 305)
Apakah memang serendah itu derajat hadits-hadits yang ada dalam shahih Bukhari, sehingga dengan seenaknya para pengikut ajaran Mu’tazilah dan murid-muridnya dari kalangan pengusung pemikiran barat melecehkannya? Tidaklah mereka persembahkan kepada Islam selain kecaman dan hujatan terhadap Islam itu sendiri? Kalangan Reformis dan Rasionalis Modern Pionir Inkar Sunnah menolak dan mengecam hadits ahad seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka, Mu’tazilah! Karena hadits ahad hanya bisa memberikan justifikasi prediktif (zhann). Sementara dalil yang prediktif tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah aqidah.
Syeikh Muhammad Abduh menyatakan, “Adapun riwayat hadits bahwa setan tidak bisa menyentuh Maryam dan Isa, hadits keislaman setan yang menjadi Qarin Nabi, dan tersingkirnya setan dari hati beliau, semua itu hanyalah hadits Dzanni, karena hanya hadits ahad. Sementara hal itu termasuk masalah ghaib dan beriman kepada perkara ghaib termasuk aqidah, maka hadits yang bersifat Dzanni tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara aqidah. Karena Allah berfirman,
“Sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS. An-Najm: 28).
Dan kita tidak dituntut untuk mengimani kandungan hadits-hadits tersebut dalam masalah aqidah kita.”
(Tafsir al-Manar, 3/392, Muhammad Rasyid Ridha, terbitan Darul Manar–1967 M Mesir)
Dengan demikian menjelaskan tentang keadaan mereka bukan sikap su’udzon bahkan hal itu termasuk bagian nasehat kepada sesame kaum muslimin agar mereka tidak terjebur dalam kesesatan dan penyimpangan agama semoga kita semua mendapat hidayah di atas sunnah.
sumber: media-ilmu.com

Baca Selengkapnya ....

Menjawab Tuduhan Antara Wahabi & Terorisme

Posted by Tri Rahmanto 0 komentar
Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin , Lc
Membedah Akar Terorisme
Aksi teroris di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton menoreh luka berat di hati Umat Islam, karena terbukti para pelakunya adalah para aktifis masjid, lulusan pesantren, juru da’wah dan di masyarakat dikenal orang sopan santun, lemah lembut, pendiam dan tidak banyak tingkah, ternyata mereka adalah orang yang sadis, yang tidak mengenal kemanusiaan membunuh manusia dengan bom bunuh diri, hal ini benar-benar mencoreng nama baik Umat dan merusak indahnya syariat Islam.

Bagaimana masyarakat awam yang membenci Islam tidak berkomentar miring terhadap Islam karena memang pelakunya umat Islam. Sementara tokoh-tokoh agama bukannya sedih menyaksikan aksi pelecehan terhadap syariat malah saling lempar tuduhan, sehingga membuat kalangan awam makin bingung mereka harus bagaimana, bergabung dengan aktifis masjid takut terjaring teroris, sementara dalam lubuk hatinya tahu bahwa mereka harus mendalami Islam karena memang fitrah manusia. Maka semua pihak harus bersikap bijak menghadapi soal terorisme, agar tidak menimbulkan kontrofersi dan menuduh pihak-pihak yang belum terbukti bersalah.
Banyak faktor yang bisa memicu aksi terorisme dan gerakan radikal antara lain:
Pertama:
Kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran membuat potensi para pemuda mandek tidak tersalurkan, dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab, apalagi para pemuda yang semangatnya sedang bergejolak didekati dengan cara halus maka dengan mudah mereka direkrut karena mereka membutuhkan komunitas yang bisa menyalurkan aspirasinya,  apalagi bila otak mereka dicuci bahwa yang menyebabkan mereka miskin adalah orang-orang kafir barat, maka siapa yang tidak terbakar, apa lagi ditanamkan kalau bisa membunuh orang kafir barat akan berbalas surga yang di dalamnya terdapat bidadari-bidadari cantik yang siap menyambutnya, pemuda mana yang tidak tergiur, meskipun harus mati dengan bom bunuh diri.
Kedua:
Aksi terorisme sebagai reaksi anak-anak bangsa yang tidak puas melihat kemaksiatan mengepungnya, kemungkaran melilit roda kehidupan, ketimpangan sosial menggurita, korupsi merajalela, prostitusi terbuka lebar, pelanggaran agama makin menggeliat, namun sayang aksi mereka tidak didukung dengan ilmu agama yang memadai dan pemahaman yang lurus di bawah bimbingan ulama yang terpercaya ilmunya maka mereka mengambil jalan pintas dengan aksi terorisme.
Ketiga:
Aksi terorisme muncul akibat kesalahan mereka dalam menimba ilmu Islam dan mengambil pemahaman Islam dari orang-orang yang belum diakui kapasitas keilmuan dan keagamaannya, bukan hanya salah teori namun juga salah aplikasi, suatu contoh doktrin jihad, bila mereka belajar dari bukan para ulama dan buku-buku yang menyimpang maka muncul anggapan bahwa semua aksi pembunuhan terhadap orang kafir termasuk jihad meskipun di zona damai dan tidak sedang perang. Padahal dalam pandangan fikih Islam, kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir yang sedang terjun di medan perang.
Keempat:
Kurangnya pemahaman terhadap kaidah maslahat dan mafsadah dan  hakekat keindahan Islam yang diturunkan untuk menjaga lima pokok kebutuhan hidup manusia yang amat mendasar dan mengharamkan siapapun merusaknya yaitu agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Maka siapa yang menodai salah satu di antara lima perkara tersebut akan merusak tatanan kehidupan dan menodai inti ajaran Islam, sehingga tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang haramnya melenyapkan nyawa orang yang terlindungi baik nyawa muslim maupun non muslim kecuali ada alasan untuk membunuhnya seperti qisas, rajam atau peperangan.
Kelima:
Kondisi keamanan dan politik yang tidak stabil banyak dimanfaatkan oleh kelompok terorisme untuk melancarkan aksinya, bahkan negara yang kerap timbul konflik politik menjadi sarang paling subur, apalagi bila ada campur tangan pihak asing yang memanfaatkan situasi goncang, sehingga orang yang miskin iman dan lemah ekonomi sangat mudah diperalat untuk melancarkan target mereka.
Jihad Ala Teroris
Aksi terorisme yang sedang marak terjadi di negeri ini menorehkan rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin bukan hanya karena melihat terburainya usus para korban, berserakannya jasad para korban, rasa sakit yang dirasakan para korban dan tangisan pilu para keluarga korban, namun rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin melebihi semua itu karena banyak pihak mengklaim bahwa terorisme bagian dari agama Islam yaitu jihad.
Ajaran agama apapun tidak membenarkan aksi terorisme apalagi Islam agama mulia, rahmatan lil ‘alamin, mustahil membenarkan aksi terorisme dengan bom bunuh diri yang banyak menelan korban dan menimbulkan kerusakan.  Jihad dalam Islam diatur dengan aturan syariat, tidak seperti yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatas namakan dirinya jihad fisabililah dan menggelari pelakunya dengan As Syahid dengan membunuh orang-orang kafir sedangkan mereka masuk ke negeri Islam dengan aman dan Rasulullah dengan tegas mengancam siapa saja yang membunuh mereka:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada dalam ikatan perjanjian), maka ia tidak akan mencium aroma surga, padahal aromanya bisa ditemukan (dari jarak) sejauh empat puluh tahun (lama) perjalanan.” (Riwayat Bukhari)
Jika kaum teroris berdalih bahwa mereka tetap boleh dibunuh karena meskipun mereka datang tidak perang senjata tapi mereka datang dengan serangan pemikiran. Maka harusnya perang pemikiran harus dilawan dengan pemikiran bukan dengan pengeboman, realitanya yang mati bukan hanya orang kafir, orang muslimpun banyak yang mati, padahal Nabi bersabda:
“Hilangnya dunia lebih ringan di hadapan Allah ketimbang lenyapnya nyawa seorang muslim.” (Ibnu Majah)
Adapun penegakan jihad (qithal) hanya menjadi wewenang pemimpin negara, dialah yang memegang komando jihad, mengibarkan panji peperangan, menyusun strategi perang, dan memilih serta mengerahkan pasukan.
Wahabisme Versus Terorisme
Tersebar isu bahwa aksi teroris dikaitkan dengan kelompok Islam tertentu yang mereka sebut dengan kelompok wahabi. Pengkaitan aksi terorisme dengan kelompok wahabi merupakan bola api liar yang sangat berbahaya dan bisa mengenai siapa saja yang memperjuangkan pemurnian Islam. Sehingga saling lempar tuduhan, bahkan ada yang menyatakan bahwa kelompok teroris adalah mereka yang suka membid’ahkan kelompok lain maka hal ini bisa mengenai organisasi Muhamadiyah, al-Irsyad, Persis atau kelompok mana saja yang memperjuangkan kemurnian ajaran Islam.
Sebenarnya, Wahabi merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad kedua hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab -ed), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah, sangat membenci syiah dan sangat jauh dari Islam.
Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam.
Contohnya Inggris mengulirkan isu wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam.
Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:
  1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.
  2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.
  3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.
Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.
***
Penulis: Ustadz Zainal Abidin, Lc.
Artikel ini sebelumnya dipublikasikan oleh Koran Republika, edisi Selasa, 25 Agustus 2009.Dipublikasi ulang oleh muslim.or.id dengan penambahan beberapa catatan kecil.

Baca Selengkapnya ....

Cara Yang Benar Dalam Beribadah Kepada Allah, Baca Dan Pahamilah...!!!!

Posted by Tri Rahmanto Kamis, 17 Januari 2013 39 komentar

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim

Cara Yang Benar Dalam Beribadah Kepada Allah, Baca Dan Pahamilah...!!!!

Sesungguhnya kemuliaan manusia dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah pada kemanusiaan itu sendiri, melainkan karena cara ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang benar dan sesuai petunjuk.

Oleh karenanya orang-orang kafir tidak ada kemuliaan mereka sedikit pun dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan merekalah makhluk yang paling hina dan paling rendah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrikin (lainnya) (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah: 6)

Maka memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dan menjauhi segala bentuk perbuatan Syirik, Bid'ah dan Maksiat adalah perkara yang paling penting dalam kehidupan seorang hamba.

Namun yang juga tak kalah penting untuk dipahami adalah makna ibadah itu sendiri serta syarat diterimanya ibadah, karena tidaklah sembarang ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Makna Ibadah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan makna ibadah adalah,

“Satu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik itu perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).” (Al-‘Ubudiyyyah, hal. 44)

Kemudian beliau mencontohkan amalan-amalan lahir seperti, “Sholat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad terhadap orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir, budak, baik manusia maupun hewan, berdo’a, dzikir, membaca al-Qur’an dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah”.

Dan amalan-amalan batin seperti, “Cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, senantiasa kembali (taubat) kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, sabar dengan hukum-Nya, bersyukur dengan nikmat-nikmat-Nya, ridho dengan ketetapan-Nya, bertawakkal kepada-Nya, berharap rahmat-Nya, takut dari adzab-Nya dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala”.

Jadi, makna ibadah dalam Islam mencakup seluruh bentuk kebaikan yang harus diamalkan oleh manusia pada semua sisi kehidupannya.

Syarat Diterimanya Ibadah

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam firman-Nya:

“(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya.” (Al-Mulk: 2)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan makhluk-makhluk dari sesuatu yang tadinya tidak ada (kemudian menjadi ada) untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/176)

Al-Imam Abu ‘Ali Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar”. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali apakah yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?” Beliau menjelaskan, “Sesungguhnya amalan jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Demikian sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sampai menjadi ikhlas dan benar. Sedangkan yang dimaksud dengan amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang dimaksud dengan amalan yang benar adalah jika dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).” (Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya.” (Al-Kahfi: 110)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan makna, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik. Maka hendaklah dia beramal shalih, yaitu amalan yang sesuai syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya, yaitu hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dua hal ini (amal sesuai syari’at dan ikhlas) merupakan dua rukun amal yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai syari’at Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/205)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Keduanya merupakan dua pokok terkumpulnya agama, yaitu kita tidak boleh beribadah kecuali kepada Allah Ta’ala dan kita beribadah kepada-Nya dengan apa yang disyari’atkan oleh-Nya, tidak dengan bid’ah-bid’ah.” (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, hal. 451)

Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa syarat diterimanya ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah:

Pertama: Ikhlas, yaitu beribadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua: Mutaba’ah, yaitu mengikuti sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Kedua syarat ini sesungguhnya merupakan pokok keislaman, yaitu makna dan konsekuensi dua kalimat syahadat; Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Karena syahadat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya karena-Nya pula, sedang syahadat Muhammadur Rasulullah menuntut kita untuk meneladani beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah.

Itulah sebabnya kenapa dua kalimat ini meski terdiri dari dua bagian tetapi dijadikan dalam satu rukun; karena kedua syarat tersebut tidak boleh terpisah satu dengan yang lainnya (lihat Syarhu Ushulil Iman, karya Ays-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah).

Maka wajib bagi kita untuk beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah, serta menjauhi perkara-perkara yang dapat merusak kedua syarat tersebut.

Perusak Ikhlas

Perusak ikhlas adalah riya’ dan sum’ah, yaitu beramal bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena ingin dipertontonkan atau diperdengarkan kepada manusia. Demikian pula beramal karena dunia dapat merusak keikhlasan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan balasan) sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Amirul Mu’minin Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu)

Riya’ dalam beramal juga termasuk kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan samar, sehingga seringkali merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir penyakit riya’ ini akan menimpa manusia-manusia terbaik di zaman beliau, yakni para sahabat radhiyallahu’anhum. Oleh karena itu, kita lebih lebih layak untuk takut dari penyakit riya’ ini. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal),

yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”.”
(HR. Ahmad, no. 23680, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albanidalam Shohihut Targhib, no. 32)

Betapa bahayanya perbuatan syirik kecil (riya’) ini, sehingga tidak ada tempat bagi kita untuk selamat darinya selain meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa menjaga niat kita. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengajarkan sebuah doa:

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepadamu (dari menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 716, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Adabil Mufrad, no. 266)

Perusak Mutaba’ah adalah Bid’ah

Adapun perusak mutaba’ah adalah perbuatan bid’ah dalam agama, yaitu mengada-adakan suatu perkara baru dalam agama (bukan dalam masalah dunia), atau mengamalkan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Amalan bid’ah tertolak, tidak akan sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah sejelek-jelek perkara dan setiap bid’ah pasti sesat. Sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia shallallahu’alaihi wa sallam dalam beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Aisyah radhyallahu’anha, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Hadits Aisyah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)

3. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) dan seburuk-buruk urusan adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat.” (HR. Muslim, no. 2042)

4. Hadits Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama),

maka wajib bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa semua perkara baru dalam agama yang tidak bersandar kepada dalil syar’i adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, masihkah pantas bagi kita beramal hanya karena mengikuti seorang tokoh atau mengikuti kebanyakan orang!? Dan masihkah layak kita berpendapat ada bid’ah yang baik (hasanah)!?

Maka di sinilah pentingnya ilmu sebelum beribadah kepada Allah Ta’ala. Bahwa ibadah tidak boleh sekedar semangat, tetapi harus berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi awal ummat Islam.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwafiq.


by islam tegas

Baca Selengkapnya ....

Untaian Nasehat Syaikh Abdul Aziz Bin Abdillah Bin Baaz (Menjaga Sehatnya Hati)

Posted by Tri Rahmanto Sabtu, 12 Januari 2013 0 komentar




Untaian nasihat Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz ini diangkat dari Majmu’ Fatawa wa Maqalaatun Mutanawwi’ah (3/244-252). Nasihat Syaikh yang panjang ini, kami kutip sebagian. Yang memotivasi beliau rahimahullah menyampaikan nasihat ini, karena keinginan beliau untuk memberi peringatan kepada kaum Muslimin, sebagai realisasi dari firman Allah k surat adz Dzariyat ayat 55 : Dan [...]

Untaian nasihat Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz ini diangkat dari Majmu’ Fatawa wa Maqalaatun Mutanawwi’ah (3/244-252). Nasihat Syaikh yang panjang ini, kami kutip sebagian.
Yang memotivasi beliau rahimahullah menyampaikan nasihat ini, karena keinginan beliau untuk memberi peringatan kepada kaum Muslimin, sebagai realisasi dari firman Allah k surat adz Dzariyat ayat 55 : Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Juga firman Allah k surat al Maidah ayat 2 : Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Pada pembukaan nasihat ini, Syaikh mengingatkan, bahwa hati kita bisa hidup dan sehat hanya dengan dzikrullah, melakukan persiapan untuk menjumpaiNya, istiqomah di atas perintahNya, cinta, takut kepada adzabNya dan mengharapkan kenikmatan di sisiNya. Hidupnya hati, kesehatannya, kecemerlangannya, kekuatannya, dan keteguhannya sesuai dengan kadar keimanannya kepada Allah Azza wa Jalla, kecintaan, kerinduan untuk berjumpa denganNya, serta ketaatannya kepada Allah dan RasulNya.
(Sebaliknya), matinya hati atau sakitnya, kegelapan serta kebingungannya sebanding dengan kadar ketidak tahuannya tentang Allah serta hakNya, jauhnya dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya, serta (sesuai dengan) jauhnya ia berpaling dari dzikrullah dan membaca KitabNya. Karena dengan sebab ini, setan mampu menguasai hati manusia, memberikan janji dan angan-angan kosong. Setan menyemaikan benih berbahaya yang akan memberangus kehidupan dan kecemerlangan hati, menjauhkannya dari semua kebaikan, menggiringnya kepada keburukan.
Berikut adalah nasihat Syaikh yang sangat berharga, semoga bermanfaat bagi kita. (Redaksi)
Pertama : Memikirkan Dan Merenungi Tujuan Kita Diciptakan
Allah Azza wa Jalla berfirman, Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras”. [Saba’ : 46].
FirmanNya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. [Ali Imran : 190-191].
Allah berfirman : Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa dimintai pertanggung-jawaban). [al Qiyamah : 36]
Artinya, dibiarkan begitu saja, tanpa perintah dan larangan. Tidak diragukan lagi, bahwa setiap muslim menyadari, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan kita tanpa tujuan, akan tetapi Allah menciptakan agar beribadah hanya kepada Allah, taat kepadaNya dan RasulNya.
Allah berfirman : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. [adz Dzariyaat : 56].
Allah berfirman : Hai manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. [al Baqarah : 21]
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada jin dan manusia dengan sebuah perintah yang menjadi tujuan penciptaan mereka; Allah mengirimkan para rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya untuk menjelaskan hal itu dan mendakwahkannya. Kemudian Allah berfirman : Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [al Bayyinah : 5].
Allah berfirman : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu”. [an Nahl : 36]
Allah Azza wa Jalla berfirman : Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatupun. [an Nisaa` : 36].
FirmanNya : (Al Qur`an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. [Ibrahim : 52].
Maka wajib bagi siapa saja yang hendak menasihati dirinya agar memberikan perhatian lebih kepada tujuan penciptaan dirinya dan lebih memprioritaskannya di atas segalanya. Dan hendaklah waspada, jangan sampai lebih mengutamakan dunia daripada akhirat, hawa nafsu daripada petunjuk, lebih mentaati nafsu dan setan daripada mentaati ar Rahman. Allah Azza wa Jalla mengingatkan hal itu dengan keras : Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). [an Nazi’at : 37-41].
Kedua : Diantara Yang Aku Wasiatkan Kepada Anda Sekalian Dan Diri Saya Pribadi Yaitu, Hendaklah Tetap Membaca Dan Memperbanyak Membaca Al Qur`an Sambil Mentadabburi, Memahami Dan Memikirkan Makna-Maknanya Yang Bisa Membersihkan Jiwa, Menyadarkan Agar Tidak Mengikuti Hawa Nafsu Dan Setan.
Sesungguhnya Allah menurunkan al Qur`an itu sebagai hidayah, nasihat, pembawa kabar gembira, peringatan, pembimbing, pemandu serta sebagai rahmat bagi seluruh hamba. Orang yang berpegang teguh dengannya dan mengamalkan petunjuknya, maka dia adalah orang yang bahagia dan selamat. Sedangkan yang berpaling darinya, maka dia adalah orang sengsara dan binasa.
Allah Azza wa Jalla berfirman : Sesungguhnya al Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [al Israa` : 9]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Dan al Qur`an ini diwahyukan kepadaku supaya aku memberi peringatan kepada kalian dengannya dan kepada orang-orang yang sampai (kepadanya) al Qur`an. [al Israa` : 19].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. [Yunus : 57].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman”. [Fushilat:44].
Dalam hadits yang shahih, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَتَمَسَّكُوا بِهِ … ثُمَّ قَالَ وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Yang pertama, yaitu Kitabullah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka terimalah Kitab Allah ini, dan berpegang teguhlah dengannya … kemudian beliau n mengatakan : “Dan keluargaku, aku ingatkan kalian kepada Allah (agar hati-hati) dalam urusan keluargaku, aku ingatkan kalian kepada Allah (agar hati-hati) dalam urusan keluargaku, aku ingatkan kalian kepada Allah (agar berhati-hati) dalam urusan keluargaku”.[1]
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dorongan dan memotivasi (agar menerima dan berpegang) kepada Kitabullah. Dan dalam khutbah haji wada, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَّتِي
“Aku tinggalkan kepada kalian sesuatu. Kalian tidak akan tersesat, selama kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian, yaitu orang yang mempelajari al Qur`an lalu mengajarkannya”.[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada para sahabatnya :
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيقِ فَيَأْتِيَ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ نُحِبُّ ذَلِكَ قَالَ أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنْ الْإِبِلِ
“Siapakah di antara kalian yang ingin pergi ke Buthan (nama tempat di dekat Madinah) atau Aqiq, lalu dia kembali dengan membawa dua unta yang gemuk, sedangkan dia dalam keadaan tidak berdosa dan tidak memutus silaturrahim?” Para sahabat menjawab,”Wahai Rasulullah, semua kami ingin hal itu?” Rasulullah n bersabda,”Tidaklah salah seorang di antara kalian pergi ke masjid lalu membaca dua ayat Kitabullah, itu lebih baik baginya dari dua unta; tiga ayat lebih baik dari tiga unta, empat ayat lebih baik dari empat unta, dan lebih baik dari jumlah yang sama dari unta”. [3]
Semua ini adalah hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaan al Qur`an, memotivasi agar membacanya, mempelajari dan mengajarkannya banyak sekali. Yang dimaksud dengan membaca, yaitu (membaca sambil) merenungi dan memahami maknanya, kemudian melakukan apa yang menjadi konsekwensinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : Apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an ataukah hati mereka terkunci. [Muhammad : 24]
Allah Azza wa Jalla berfirman : Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya, dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran. [Shaad : 29].
Saudara-saudaraku, bergegaslah untuk membaca Kitab Rabb kalian, mentadabburi (merenungi dan memperhatikan) maknanya, memanfaatkan waktu dan majlis untuk itu. Al Qur`an al Karim merupakan tali Allah yang kuat, dan jalanNya yang lurus. Orang yang berpegang teguh dengan al Qur`an, dia bisa sampai kepada Allah dan Surga. Dan barangsiapa yang berpaling darinya, dia akan sengsara di dunia dan akhirat.
Waspadalah rahimakumullah terhadap segala yang dapat menghalangi kalian dari Kitabullah dan yang bisa melalaikan kalian dari dzikir, yaitu yang berupa selebaran-selebaran, majalah-majalah atau sejenisnya yang lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Jika memang perlu untuk menelaah majalah-majalah atau selebaran-selebaran itu, maka jadwalkan waktu khusus dan lakukanlah seperlunya.
Hendaklah juga menyediakan waktu khusus untuk membaca atau mendengarkan Kitabullah dari orang yang membacanya, untuk mengobati penyakit hati dengannya, supaya terpacu untuk taat kepada khaliqnya, Rabb yang memiliki manfaat, madharat, hak memberi dan hak tidak memberi, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah.
Di antara hal yang harus dihindari, yaitu mendatangi arena hura-hura, musik, mendengar siaran-siaran yang berbahaya, bergabung dengan majelis obrolan yang tidak jelas dan membicarakan harga diri orang. Dan yang lebih berbahaya dari ini, yaitu datang ke sinema atau yang semisalnya, menyaksikan film-film porno yang membuat hati menjadi sakit, serta menghalangi dzikir dan menghalangi membaca al Qur`an, mendorong untuk berperangai buruk dan hina, serta menanggalkan akhlak terpuji.
Demi Allah, sesungguhnya film-film ini lebih berbahaya daripada alat-alat musik, lebih buruk; dan akibatnya lebih menjijikkan, maka hindarilah ia – rahimakumullah.
Janganlah bergaul dengan mereka, dan janganlah ridha dengan perbuatan mereka yang buruk. Barangsiapa yang mengajak manusia kepadanya, maka dia akan memikul dosanya sendiri ditambah dosa sebesar dosa orang yang tersesat karena tergiur dengan ajakannya. Demikianlah, setiap orang yang mengajak kepada suatu kebathilan atau meninggalkan kebenaran, maka dia akan memikul dosanya ditambah dosa sebesar dosa orang-orang yang mengikutinya. Dan dalam hal ini, terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar membimbing kita dan seluruh kaum Muslimin kepada jalanNya yang lurus. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha dekat.
Ketiga : Mengangungkan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Gemar Mendengarkannya Dan Antusias Menghadiri Majlis Dzikir (Majelis Ilmu), Tempat Kitabullah Dan Hadits-Hadits Rasulullah Dibacakan.
Sesungguhnya, Sunnah itu bagian dari al Qur`an. Sunnah menjelaskan makna-makna al Qur`an, menjelaskan hukum-hukumnya, memerinci syari’at yang diperintahkan kepada para hamba. Maka wajib bagi setiap muslim untuk mengagungkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, antusias untuk menghafal dan memahaminya sesuai dengan kemampuan. Dan semestinya, juga lebih intensif bergaul dengan para ahli hadits, karena mereka merupakan teman yang tidak akan pernah membuat temannya sengsara.
Allah berfirman : Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. [an Nisaa` : 80].
Allah Azza wa Jalla berfirman : Apa yang diberikan oleh Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya dari kalian, maka tinggalkanlah. [QS al Hasyr : 7].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
“Jika kalian melewati taman-taman surga, maka lahaplah (nikmatilah) apa yang ada di dalamnya”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : “Wahai Rasulullah, apa itu taman-taman surga?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Halaqah-halaqah dzikir.”
Para ulama menjelaskan, halaqah-halaqah dzikir, maksudnya adalah majelis-mejelis tempat al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibacakan, tempat menjelaskan yang dihalalkan oleh Allah kepada para hamba, dan apa yang diharamkan atas mereka, serta hal yang berkait dengannya, seperti rincian-rincian hukum syari’ah, penjelasan macam-macamnya, dan segala hal yang berkait.
Maka manfaatkanlah waktu untuk menghadiri majelis dzikir, agungkanlah al Qur`an dan hadits, amalkan apa yang engkau pahami dari keduanya, bertanyalah tentang sesuatu yang susah engkau pahami, sehingga engkau bisa mengetahui al haq dengan dalil, sehingga engkau dapat mengamalkannya; dan kalian bisa mengetahui yang bathil berdasarkan dalil, sehingga kalian bisa menghindarinya. Dengan demikian, kalian termasuk orang yang faqih (paham) tentang agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang dikehendaki baik, maka Allah pahamkan dia tentang din (agama)”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada dalam ajaran kami, maka perbuatan itu tertolak”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa menempuh satu perjalanan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah (masjid) di antara rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah, saling mengajarkan di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, mereka akan diliputi oleh rahmat dan dikeliingi oleh para malaikat, serta Allah memuji mereka di hadapan para malaikat yang ada di dekatNya. Orang yang diperlambat oleh amalnya (untuk mencapai derajat tinggi atau kebahagiaan), maka garis keturunannya tidak akan bisa mempercepatnya”.
Hanya kepada Allah kita memohon. Semoga Allah menunjukan kami dan kalian kepada yang diridhaiNya. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua kepahaman dalam masalah din dan kekuatan untuk melaksanakan hak Rabb semesta alam. Semoga Allah menolong agamaNya dan meninggikan kalimatNya. Dan semoga Allah melindungi kami dan kalian dari fitnah yang menyesatkan dan tipu daya setan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar do’a dan Maha Mudah mengabulkan do’a.
Washallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘alihi wa sallam.
[Diangkat dari Majmu Fatawa wa Maqalaatun Mutanawwi'ah (3/244-252)]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1424H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Baca Selengkapnya ....

Urgensi Mekah al-Mukaramah dan Kedudukannya dalam Islam

Posted by Tri Rahmanto Jumat, 04 Januari 2013 1 komentar



Urgensi Mekah al-Mukaramah
dan
Kedudukannya dalam Islam


Sejarah perkembangan kota Mekah

Mekah adalah tanah haram,
negeri yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan juga Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kiblatnya kaum muslim. Dambaan hati mereka
dan tempat mereka beribadah haji dan
tempat mereka berkumpul.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengukuhkannya
sebagai tanah haram yang dihormati, sejak langit
dan bumi diciptakan. Di sana ada Ka’bah,
tempat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang pertama di muka bumi.
Baitul Atiq diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemuliaan
dan keharaman. Di dalamnya terdapat rasa aman,
bahkan rasa aman ini juga dimiliki
oleh pepohonan dan tumbuh-tumbuhan
dengan larangan memotongnya,
burung-burung tidak boleh diusir, dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala
amal kebaikan di dalamnya lebih utama
daripada pahala amalan di tempat yang lain.

Shalat di dalamnya sama dengan
100.000 (seratus ribu) shalat
di tempat yang lain.
Juga karena keagungan dan kehormatan Ka’bah,
Mekah menjadi agung dan dihormati.
Terlebih karena adanya rasa aman di dalamnya
di saat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surah Ali Imran: 97

“Barang siapa memasukinya (baitullah itu)
menjadi amanlah dia.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan negeri ini untuk menunjukkan
kemahabesaran martabatnya.

Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surah al-Balad: 1

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah).”

Di sana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah
bumi Allah yang paling baik dan tanah
yang paling dicintai Allah,
andaikan aku tidak diusir darimu,
niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Diriwayatkan dari Ka’ab radhiallahu ‘anhu,
ia berkata,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih negeri-negeri,
maka negeri yang paling dicintai
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
negeri al-Haram.”



Pengukuhan Mekah Sebagai Tanah Haram

Mekah juga disebut dengan tanah haram
yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah
_shallallahu ‘alaihi wa sallam_, bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Mekah
sebagai tanah haram
semenjak Dia menciptakan langit dan bumi.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
ia berkata,
‘Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
kemenangan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menaklukkan kota Mekah,
lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri
di hadapan orang-orang, kemudian beliau mengucapkan alhamdulillah dan memuji asma Allah,
lalu bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menghalangi tentara bergajah masuk ke Mekah,
dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menaklukkan Mekah
untuk Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
dan sesungguhnya tidak dihalalkan bagi orang sebelumku
untuk menyerbu Mekah, hanya dihalalkan satu saat saja
khusus untukku pada hari ini, dan
sesungguhnya tidak dihalalkan lagi
untuk siapapun setelahku.
Maka dilarang mengusir hewan buruannya,
dilarang memotong tumbuh-tumbuhannya
dan barang yang tercecer tidak halal dipungut
kecuali bagi orang yang berniat mencari pemiliknya.
Dan siapa yang keluarganya mati dibunuh,
maka mereka mempunyai dua pilihan;
menerima diyat (denda 100 ekor unta)
atau qishash.”

Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:
“Kecuali izkhir (sejenis rumput),
wahai Rasulullah?, sesungguhnya kami
mengambilnya untuk diletakkan
di kubur dan di rumah,”
lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kecuali izkhir.” Muttafaq alaih.
Batas Tanah Haram

Orang yang pertama meletakkan batas tanah haram adalah N
abi Ibrahim al-Khalil , Nabi Ibrahim menancapkan tapal di batas tanah haram. Malaikat Jibril yang memperlihatkan kepadanya, kemudian tapal ini tidak diganggu-gugat hingga pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat fathu Mekah (penaklukan kota Mekah), beliau mengutus Tamim bin Asad al-Khuza’i radhiallahu ‘anhu untuk memperbaharui tapal tersebut. Tanda ini juga tidak diganggu-gugat hingga pada masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah. Ia mengutus orang-orang Quraisy untuk memperbaharui tapal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Baitul al-Atiq (Ka’bah) sebagai tanah haram untuk memuliakannya, sehingga terdapat rasa aman yang juga dirasakan oleh burung dan pepohonan, pahala amalan di daerah ini diberikan oleh Allah lebih baik dari daerah lainnya, batas tanah haram tersebut mengitari kota Mekah al-Mukaramah sebagian batasnya lebih dekat ke Ka’bah. Saat ini ditancapkan tapal batas haram di jalan-jalan utama yang menuju ke Mekah, yaitu:

Arah Barat, jalan Jeddah-Mekah, di asy-Syumaisi (Hudaibiyah), yang berjarak; 22 km dari Ka’bah.
Arah Selatan, di Idha’ahiben, jalan Yaman-Mekah untuk yang datang dari Tihamah, yang berjarak; 12 km dari Ka’bah.
Arah timur, di tepi lembah Uranah Barat, yang berjarak; 15 km dari Ka’bah.
Arah timur laut, jalan Ji’ranah dekat dari kampung Syara’i al-Mujahidin, berjarak: 16 km dari Ka’bah.
Arah utara, batasnya adalah Tan’im, yang berjarak; 7 km dari Ka’bah.

Kemuliaan Tanah Haram

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surah Ali Imran: 97

“Dan siapa yang masuk ke dalamnya (Baitullah),
maka amanlah ia.”

Yakni tanah haram Mekah. Bila seorang yang merasa ketakutan memasukinya, ia akan merasa aman dari segala keburukan. Hal ini telah ada semenjak zaman jahiliyah, bila seorang laki-laki membunuh seseorang, kemudian ia masuk ke Masjidil Haram lalu anak dari korban pembunuhan tersebut bertemu dengannya, maka anak tersebut tidak akan mengganggunya sama sekali hingga si pembunuh keluar darinya.

Telah terjadi kesepakatan para ulama (ijma) bahwa siapa yang berbuat suatu tindak pidana di tanah haram, maka ia tidak mendapatkan rasa aman tersebut karena ia telah merusak kehormatan tanah haram. Adapun apabila seseorang melakukan tindak pidana di luar kawasan ini kemudian ia mencari suaka ke tanah haram, maka haruslah bagi setiap kaum muslimin memboikot orang tersebut hingga orang itu keluar dari tanah haram, lalu dilaksanakan hukum had terhadap orang tersebut.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Siapa yang melakukan suatu tindak kejahatan, kemudian datang ke Baitullah agar mendapat perlindungan, maka dia aman, dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin memberi hukuman padanya, hingga dia keluar dari tanah haram, dan apabila dia telah keluar, maka dibolehkan menghukumnya.”
Nama-nama Mekah

Negeri yang mulia dan tanah haram yang agung ini memiliki banyak nama, hampir mencapai 50 nama. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi nama kota ini dengan 5 nama: Mekah, Bakkah, al-Balad (berarti: kota), al-Qaryah (berarti: negeri), Ummul Qura (berarti: ibu negeri).

Adapun nama Mekah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah.” (QS. Al-Fath: 24)

Adapun nama Bakkah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya rumah pertama yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

Adapun pemberian nama al-Balad, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (QS. al-Balad: 1)

“Aku benar-benar bersumpah dengan Balad (kota) ini.” Yakni: Mekah.

Kata “al-Balad” secara etimologi berarti: bagian tengah dari sebuah negeri.

Adapun penamaan kota ini dengan al-Qaryah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (QS. An-Nahl: 11)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram.”

Kata “Qaryah” berarti suatu tempat yang menghimpun manusia dalam jumlah yang besar. Makna asal kata ini adalah: menghimpun.

Dan penamaannya dengan Ummul Qura disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS. Al-An’am: 92):

“Dan agar engkau membari peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura.” Yakni Mekah.

Mekah juga memiliki nama-nama lain seperti:
Nassasah, al-Hathimah, al-Haram, Shalah,
al-Basah, Ma’az, Ar Ra’as, al-Balad al-Amiin,
Kuusa, dan banyak lagi yang lainnya.


Keutamaan Mekah

Hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan Mekah dan kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sangat banyak tak terhitung jumlahnya.

Di antaranya; hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Adi bin al-Hamra radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Mekah (beliau sedang berada di atas ontanya di Hazwarah):

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah, andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Hadis di atas adalah hadis yang paling shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, dan menjadi dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwasanya Mekah adalah negeri yang paling mulia dari seluruh negeri di permukaan bumi.

Cukuplah sebagai bukti menunjukkan tentang keutamaan Mekah, bahwa shalat di Masjidil Haram pahalanya dilipatgandakan berlipat-lipat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Satu shalat di masjidku ini lebih dari 1.000 shalat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram sekali lebih baik dari 100.000 shalat di tempat yang lain.”

Apabila kita hitung keutamaan satu shalat di Masjidil Haram berdasarkan petunjuk hadis ini dilipat-gandakan menjadi 100.000 shalat di tempat lain, berarti satu shalat di Masjidil Haram sama dengan shalat selama 55 tahun 6 bulan 20 hari, dan shalat sehari semalam (shalat lima waktu) sama dengan 277 tahun 9 bulan 10 hari.

Teks hadis yang menjelaskan bahwa pahala shalat dilipatgandakan, berarti amalan yang lain juga dilipatgandakan menjadi 100.000 kebajikan. Al-Muhib at-Thabari rahimahullah berkata: “Hadis-hadis yang menjelaskan perlipatgandaan pahala shalat dan puasa menunjukkan adanya kelipatan pahala pada setiap amalan, diqiyaskan dengan shalat dan puasa.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “puasa sehari di Mekah sama dengan puasa 100.000 hari, sedekah 1 dirham sama dengan 100.000 dirham, dan setiap kebajikan digandakan menjadi 100.000.”

Akan tetapi dua sayarat amalan digandakan pahalanya, yaitu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut sesuai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebaliknya dosa juga dilipatgandakan di sini, maka seharusnya seorang muslim menghindarkan diri dari berbuat maksiat di Mekah.

Mujahid rahimahullah berkata, “Dosa berbuat kejahatan di Mekah dilipatgandakan seperti amalan kebajikan yang dilipatgandakan.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya, apakah ada sebuah dosa yang ditulis lebih dari satu?, Ia menjawab: “Tidak ada kecuali bila ia dilakukan di Mekah, karena agungnya negeri ini.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga mengatakan hal yang sama: “Jikalau seseorang berkeinginan membunuh seorang mukmin di Baitullah dan dia masih berada jauh di Aden (nama kota di Yaman), Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada orang tersebut azab yang pedih di dunia.”
Tinggal di Mekah

Tinggal di Mekah dianjurkan, karena setiap amal kebajikan dan ketaatan di sana digandakan pahalanya. Dan hal ini telah dilakukan oleh para teladan kita, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf yang tidak terhitung jumlah mereka.

Dan dalil yang paling kuat yang menjelaskan keutamaan tinggal di Mekah adalah: keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menetap di Mekah, dan juga keinginan Bilal radhiallahu ‘anhu untuk kembali ke Mekah dalam bait sya’irnya.

Ungkapan yang paling tepat tentang anjuran pindah ke Mekah dan tinggal di sana, perkataan Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf: “Sungguh kami telah mencoba dan juga orang-orang sebelum kami, maka kami tidak mendapatkan setelah berputar mengelilingi daerah-daerah (yang membantu untuk mengekang nafsu, menentang syahwat, memusatkan hati, mengonsentrasikan pikiran, mendorong untuk qana’ah, mengusir setan, jauh dari cobaan dan bala, dan melakukan perintah agama dengan seksama) selain tinggal di tanah haram, berdampingan dengan Baitullah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan hal tersebut, dan memberikan kesabaran dan rasa syukur.”
Bentuk Ka’bah al-Musyarafah, Sejarah Pembangunan dan Pemugarannya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci itu
sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) manusia.”
(QS. Al-Maidah: 97)

Ka’bah adalah: Baitullah al-Haram yang berada di tengah masjid, dan sebab dinamakan Ka’bah yaitu:
seperti yang diriwayatkan oleh Azraqi dan Abu Nujaih,
ia berkata: “Dinamakan Ka’bah karena bentuknya segi empat seperti kubus, maka diberi nama bangunan tersebut dengan Ka’bah karena berbentuk bujur sangkar.” Demikian juga menurut Ikrimah dan Mujahid rahimahumallah

Ada yang berpendapat:
dinamakan Ka’bah karena ketinggiannya
dan berdiri menjulang.

Juga dinamakan: Bait al-Atiq yang berarti: rumah yang terbebaskan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskannya dari tangan kekuasaan para durjana. Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Dinamakan Bait al-Atiq karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan para pemimpin zalim menguasainya.”
Pembangunan Mekah

Ka’bah dibangun lebih dari sekali, yang masyhur (populer) bahwa Ka’bah dibangun lima kali;

Pertama: Dibangun oleh para malaikat.

Kedua: Dibangun oleh Nabi Adam.

Ketiga: Dibangun oleh Nabi Ibrahim.

Keempat: Dibangun oleh bangsa Quraisy pada masa jahiliyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut andil membangunnya saat itu umur beliau 25 tahun.

Kelima: Dibangun oleh Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu.
Ibrahim dan Ismail Membangun Ka’bah

Ketika Nabi Ismail lahir dari rahim ibunya Hajar, rasa cemburu Sarah bertambah, dan dia meminta Nabi Ibrahim al-Khalil membawa jauh Hajar dari hadapannya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Ibrahim agar membawa Hajar keluar dari Palestina menuju Mekah al-Musyafarah. Lalu Nabi Ibrahim membawa istri dan putranya menempuh perjalanan jauh, hingga sampai di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan Mekah, lalu menempatkan mereka di sana.

Setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan putranya di Mekah, dia pernah berkunjung untuk mengetahui keadaan mereka, dalam salah satu kunjungannya Nabi Ibrahim menemui putranya Ismail sedang mengasah anak panahnya di bawah sebuah pohon yang rindang di dekat zam-zam.

Tatkala Ismail melihat ayahnya, dia langsung berdiri menyambutnya, lalu mereka berpelukan layaknya seorang putra kepada ayahnya dan ayah kepada putranya, kemudian Nabi Ibrahim berkata: “Wahai Ismail sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku perintah.”

- Ismail berkata: “Lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu.”

- Ibrahim berkata: “Maukah engkau membantuku?”

- Ismail berkata: “Aku akan membantumu.”

- Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkanku untuk membuat rumah ibadah di sini” (sambil mennjuk ke sebuah anak bukit sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah sekitarnya).

Kemudian keduanya mulai membangun pondasinya, Nabi Ismail mencari dan mengangkat batu, sedangkan Nabi Ibrahim yang memasangnya.

Hingga dinding bangunan mulai tinggi, Nabi Ibrahim mengambil batu (yang sekarang dikenal dengan maqam Ibrahim), lalu meletakkannya dan berdiri di atas batu tersebut untuk memasang batu di bagian atas, dan Nabi Ismail memberikan batu dari bawah.

Kemudian mereka berkata:

“Ya Tuhan kami, terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Lalu mereka thawaf (berputar) mengelilingi bangunan tersebut.
Quraisy Membangun Ka’bah

Beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul, batu-batu dinding Ka’bah bagian atas sudah mulai pecah dan berserakan. Tingginya yang tidak terlalu jauh dari ukuran orang berdiri, membuat orang dapat dengan mudah memanjatnya lalu mencuri barang berharga yang terdapat di dalamnya.

Quraisy berkeinginan untuk meninggikan dinding Ka’bah dan memberinya atap. Pada saat yang sama di Jeddah, ada kapal milik pedagang Roma yang dihempaskan ombak ke pantai lalu pecah. Kaum Quraisy mengambil kayunya untuk dipersiapkan menjadi atap Ka’bah.

Tetapi orang-orang yang merasa takut untuk mulai menghancurkan Ka’bah, hingga al-Walid bin al-Mughirah memberanikan diri untuk memulai menghancurkannya.
Ketika orang-orang melihat al-Walid tidak mengalami apa-apa, mereka baru berani menghancurkannya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Meletakkan Hajar Aswad

Kemudian kabilah-kabilah Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu di tumpukan sendiri, lalu mereka membangun Ka’bah
hingga tahap pembangunan sampai pada bagian sudut
(tempat Hajar Asward).
Setiap kabilah berkeinginan untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut ke sudut itu. Sampai masing-masing kabilah
membuat barisan tersendiri, karena mereka berselisih
dan bersiap siaga untuk berperang.

Bangsa Quraisy menghentikan pembangunan
sampai selesai perselisihan ini selama 4 atau 5 hari.
Kemudian mereka berkumpul di masjid untuk
bermusyawarah dan saling bertukar pendapat.

Sebagian ahli riwayat menduga bahwa Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum (pada tahun itu adalah orang Quraisy yang paling dituakan) berkata: “Wahai bangsa Quraisy, serahkanlah urusan yang kalian perselisihkan (memindahkan Hajar Aswad ke sudut Ka’bah) kepada orang yang pertama masuk masjid ini, biarlah ia yang memutuskan perselisihan ini.” Lalu mereka menyetujuinya.

Ternyata orang yang pertama kali masuk pintu masjid itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala mereka melihatnya, mereka berkata, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kami ridha dengan Muhammad.”

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di hadapan, mereka memberitahukan kepada beliau tentang duduk persoalannya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah aku sehelai kain.”
Lalu beliau membawa kain tersebut dan
meletakkan Hajar Aswad di atas kain dengan tangannya
kemudian bersabda:
“Hendaklah setiap kabilah memegang setiap sudut kain ini.”

Lalu mereka serentak mengangkatnya dan
membawanya hingga sampai di dekat sudut Ka’bah,
kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya pada tempatnya, kemudian pembangunan diteruskan.

Sumber: Sejarah Kota Mekah
oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury
Foto: Urgensi Mekah al-Mukaramah 
                       dan 
Kedudukannya dalam Islam 


Sejarah perkembangan kota Mekah

Mekah adalah tanah haram,
 negeri yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala 
dan juga Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 kiblatnya kaum muslim. Dambaan hati mereka
 dan tempat mereka beribadah haji dan
 tempat mereka berkumpul.

 Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengukuhkannya
 sebagai tanah haram yang dihormati, sejak langit 
dan bumi diciptakan. Di sana ada Ka’bah, 
tempat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala 
yang pertama di muka bumi. 
Baitul Atiq diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemuliaan 
dan keharaman. Di dalamnya terdapat rasa aman, 
bahkan rasa aman ini juga dimiliki
 oleh pepohonan dan tumbuh-tumbuhan 
dengan larangan memotongnya, 
burung-burung tidak boleh diusir, dan
 Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala 
amal kebaikan di dalamnya lebih utama 
daripada pahala amalan di tempat yang lain.

Shalat di dalamnya sama dengan 
100.000 (seratus ribu) shalat 
di tempat yang lain.
 Juga karena keagungan dan kehormatan Ka’bah, 
Mekah menjadi agung dan dihormati. 
Terlebih karena adanya rasa aman di dalamnya 
di saat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman 
dalam surah Ali Imran: 97

“Barang siapa memasukinya (baitullah itu)
 menjadi amanlah dia.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
 dengan negeri ini untuk menunjukkan 
kemahabesaran martabatnya.

 Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman
 dalam surah al-Balad: 1

“Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah).”

Di sana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah 
bumi Allah yang paling baik dan tanah
 yang paling dicintai Allah, 
andaikan aku tidak diusir darimu, 
niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Diriwayatkan dari Ka’ab radhiallahu ‘anhu,
 ia berkata,
 “Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih negeri-negeri, 
maka negeri yang paling dicintai 
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah 
negeri al-Haram.”



Pengukuhan Mekah Sebagai Tanah Haram

Mekah juga disebut dengan tanah haram
 yang dijelaskan dalam hadis Rasulullah 
_shallallahu ‘alaihi wa sallam_, bahwa 
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Mekah 
sebagai tanah haram 
semenjak Dia menciptakan langit dan bumi.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
 ia berkata,
 ‘Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan 
kemenangan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menaklukkan kota Mekah, 
lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri 
di hadapan orang-orang, kemudian beliau mengucapkan alhamdulillah dan memuji asma Allah, 
lalu bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala 
telah menghalangi tentara bergajah masuk ke Mekah,
 dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menaklukkan Mekah
 untuk Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman 
dan sesungguhnya tidak dihalalkan bagi orang sebelumku
 untuk menyerbu Mekah, hanya dihalalkan satu saat saja 
khusus untukku pada hari ini, dan 
sesungguhnya tidak dihalalkan lagi 
untuk siapapun setelahku.
 Maka dilarang mengusir hewan buruannya, 
dilarang memotong tumbuh-tumbuhannya 
dan barang yang tercecer tidak halal dipungut
 kecuali bagi orang yang berniat mencari pemiliknya. 
Dan siapa yang keluarganya mati dibunuh, 
maka mereka mempunyai dua pilihan; 
menerima diyat (denda 100 ekor unta)
 atau qishash.”

Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: 
“Kecuali izkhir (sejenis rumput),
 wahai Rasulullah?, sesungguhnya kami 
mengambilnya untuk diletakkan 
di kubur dan di rumah,” 
lalu 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Kecuali izkhir.” Muttafaq alaih.
Batas Tanah Haram

Orang yang pertama meletakkan batas tanah haram adalah N
abi Ibrahim al-Khalil , Nabi Ibrahim menancapkan tapal di batas tanah haram. Malaikat Jibril yang memperlihatkan kepadanya, kemudian tapal ini tidak diganggu-gugat hingga pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat fathu Mekah (penaklukan kota Mekah), beliau mengutus Tamim bin Asad al-Khuza’i radhiallahu ‘anhu untuk memperbaharui tapal tersebut. Tanda ini juga tidak diganggu-gugat hingga pada masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu menjabat sebagai khalifah. Ia mengutus orang-orang Quraisy untuk memperbaharui tapal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Baitul al-Atiq (Ka’bah) sebagai tanah haram untuk memuliakannya, sehingga terdapat rasa aman yang juga dirasakan oleh burung dan pepohonan, pahala amalan di daerah ini diberikan oleh Allah lebih baik dari daerah lainnya, batas tanah haram tersebut mengitari kota Mekah al-Mukaramah sebagian batasnya lebih dekat ke Ka’bah. Saat ini ditancapkan tapal batas haram di jalan-jalan utama yang menuju ke Mekah, yaitu:

    Arah Barat, jalan Jeddah-Mekah, di asy-Syumaisi (Hudaibiyah), yang berjarak; 22 km dari Ka’bah.
    Arah Selatan, di Idha’ahiben, jalan Yaman-Mekah untuk yang datang dari Tihamah, yang berjarak; 12 km dari Ka’bah.
    Arah timur, di tepi lembah Uranah Barat, yang berjarak; 15 km dari Ka’bah.
    Arah timur laut, jalan Ji’ranah dekat dari kampung Syara’i al-Mujahidin, berjarak: 16 km dari Ka’bah.
    Arah utara, batasnya adalah Tan’im, yang berjarak; 7 km dari Ka’bah.

Kemuliaan Tanah Haram

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
 dalam surah Ali Imran: 97

“Dan siapa yang masuk ke dalamnya (Baitullah), 
maka amanlah ia.”

Yakni tanah haram Mekah. Bila seorang yang merasa ketakutan memasukinya, ia akan merasa aman dari segala keburukan. Hal ini telah ada semenjak zaman jahiliyah, bila seorang laki-laki membunuh seseorang, kemudian ia masuk ke Masjidil Haram lalu anak dari korban pembunuhan tersebut bertemu dengannya, maka anak tersebut tidak akan mengganggunya sama sekali hingga si pembunuh keluar darinya.

Telah terjadi kesepakatan para ulama (ijma) bahwa siapa yang berbuat suatu tindak pidana di tanah haram, maka ia tidak mendapatkan rasa aman tersebut karena ia telah merusak kehormatan tanah haram. Adapun apabila seseorang melakukan tindak pidana di luar kawasan ini kemudian ia mencari suaka ke tanah haram, maka haruslah bagi setiap kaum muslimin memboikot orang tersebut hingga orang itu keluar dari tanah haram, lalu dilaksanakan hukum had terhadap orang tersebut.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Siapa yang melakukan suatu tindak kejahatan, kemudian datang ke Baitullah agar mendapat perlindungan, maka dia aman, dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin memberi hukuman padanya, hingga dia keluar dari tanah haram, dan apabila dia telah keluar, maka dibolehkan menghukumnya.”
Nama-nama Mekah

Negeri yang mulia dan tanah haram yang agung ini memiliki banyak nama, hampir mencapai 50 nama. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi nama kota ini dengan 5 nama: Mekah, Bakkah, al-Balad (berarti: kota), al-Qaryah (berarti: negeri), Ummul Qura (berarti: ibu negeri).

Adapun nama Mekah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah.” (QS. Al-Fath: 24)

Adapun nama Bakkah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya rumah pertama yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali Imran: 96)

Adapun pemberian nama al-Balad, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, (QS. al-Balad: 1)

“Aku benar-benar bersumpah dengan Balad (kota) ini.” Yakni: Mekah.

Kata “al-Balad” secara etimologi berarti: bagian tengah dari sebuah negeri.

Adapun penamaan kota ini dengan al-Qaryah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (QS. An-Nahl: 11)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram.”

Kata “Qaryah” berarti suatu tempat yang menghimpun manusia dalam jumlah yang besar. Makna asal kata ini adalah: menghimpun.

Dan penamaannya dengan Ummul Qura disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS. Al-An’am: 92):

“Dan agar engkau membari peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura.” Yakni Mekah.

Mekah juga memiliki nama-nama lain seperti:
 Nassasah, al-Hathimah, al-Haram, Shalah, 
al-Basah, Ma’az, Ar Ra’as, al-Balad al-Amiin, 
Kuusa, dan banyak lagi yang lainnya.


Keutamaan Mekah

Hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan Mekah dan kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sangat banyak tak terhitung jumlahnya.

Di antaranya; hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Adi bin al-Hamra radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Mekah (beliau sedang berada di atas ontanya di Hazwarah):

“Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah, andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Hadis di atas adalah hadis yang paling shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, dan menjadi dalil bagi pendapat yang mengatakan bahwasanya Mekah adalah negeri yang paling mulia dari seluruh negeri di permukaan bumi.

Cukuplah sebagai bukti menunjukkan tentang keutamaan Mekah, bahwa shalat di Masjidil Haram pahalanya dilipatgandakan berlipat-lipat.

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Satu shalat di masjidku ini lebih dari 1.000 shalat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjidil Haram sekali lebih baik dari 100.000 shalat di tempat yang lain.”

Apabila kita hitung keutamaan satu shalat di Masjidil Haram berdasarkan petunjuk hadis ini dilipat-gandakan menjadi 100.000 shalat di tempat lain, berarti satu shalat di Masjidil Haram sama dengan shalat selama 55 tahun 6 bulan 20 hari, dan shalat sehari semalam (shalat lima waktu) sama dengan  277 tahun 9 bulan 10 hari.

Teks hadis yang menjelaskan bahwa pahala shalat dilipatgandakan, berarti amalan yang lain juga dilipatgandakan menjadi 100.000 kebajikan. Al-Muhib at-Thabari rahimahullah berkata: “Hadis-hadis yang menjelaskan perlipatgandaan pahala shalat dan puasa menunjukkan adanya kelipatan pahala pada setiap amalan, diqiyaskan dengan shalat dan puasa.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “puasa sehari di Mekah sama dengan puasa 100.000 hari, sedekah 1 dirham sama dengan 100.000 dirham, dan setiap kebajikan digandakan menjadi 100.000.”

Akan tetapi dua sayarat amalan digandakan pahalanya, yaitu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut sesuai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebaliknya dosa juga dilipatgandakan di sini, maka seharusnya seorang muslim menghindarkan diri dari berbuat maksiat di Mekah.

Mujahid rahimahullah berkata, “Dosa berbuat kejahatan di Mekah dilipatgandakan seperti amalan kebajikan yang dilipatgandakan.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya, apakah ada sebuah dosa yang ditulis lebih dari satu?, Ia menjawab: “Tidak ada kecuali bila ia dilakukan di Mekah, karena agungnya negeri ini.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga mengatakan hal yang sama: “Jikalau seseorang berkeinginan membunuh seorang mukmin di Baitullah dan dia masih berada jauh di Aden (nama kota di Yaman), Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan kepada orang tersebut azab yang pedih di dunia.”
Tinggal di Mekah

Tinggal di Mekah dianjurkan, karena setiap amal kebajikan dan ketaatan di sana digandakan pahalanya. Dan hal ini telah dilakukan oleh para teladan kita, baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf yang tidak terhitung jumlah mereka.

Dan dalil yang paling kuat yang menjelaskan keutamaan tinggal di Mekah adalah: keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menetap di Mekah, dan juga keinginan Bilal radhiallahu ‘anhu untuk kembali ke Mekah dalam bait sya’irnya.

Ungkapan yang paling tepat tentang anjuran pindah ke Mekah dan tinggal di sana, perkataan Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf: “Sungguh kami telah mencoba dan juga orang-orang sebelum kami, maka kami tidak mendapatkan setelah berputar mengelilingi daerah-daerah (yang membantu untuk mengekang nafsu, menentang syahwat, memusatkan hati, mengonsentrasikan pikiran, mendorong untuk qana’ah, mengusir setan, jauh dari cobaan dan bala, dan melakukan perintah agama dengan seksama) selain tinggal di tanah haram, berdampingan dengan Baitullah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan hal tersebut, dan memberikan kesabaran dan rasa syukur.”
Bentuk Ka’bah al-Musyarafah, Sejarah Pembangunan dan Pemugarannya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Allah telah menjadikan Ka’bah rumah suci itu 
sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) manusia.”
 (QS. Al-Maidah: 97)

Ka’bah adalah: Baitullah al-Haram yang berada di tengah masjid, dan sebab dinamakan Ka’bah yaitu: 
seperti yang diriwayatkan oleh Azraqi dan Abu Nujaih, 
ia berkata: “Dinamakan Ka’bah karena bentuknya segi empat seperti kubus, maka diberi nama bangunan tersebut dengan Ka’bah karena berbentuk bujur sangkar.” Demikian juga menurut Ikrimah dan Mujahid rahimahumallah

Ada yang berpendapat: 
dinamakan Ka’bah karena ketinggiannya 
dan berdiri menjulang.

Juga dinamakan: Bait al-Atiq yang berarti: rumah yang terbebaskan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskannya dari tangan kekuasaan para durjana. Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Dinamakan Bait al-Atiq karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan para pemimpin zalim menguasainya.”
Pembangunan Mekah

Ka’bah dibangun lebih dari sekali, yang masyhur (populer) bahwa Ka’bah dibangun lima kali;

Pertama: Dibangun oleh para malaikat.

Kedua: Dibangun oleh Nabi Adam.

Ketiga: Dibangun oleh Nabi Ibrahim.

Keempat: Dibangun oleh bangsa Quraisy pada masa jahiliyah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut andil membangunnya saat itu umur beliau 25 tahun.

Kelima: Dibangun oleh Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu.
Ibrahim dan Ismail Membangun Ka’bah

Ketika Nabi Ismail lahir dari rahim ibunya Hajar, rasa cemburu Sarah bertambah, dan dia meminta Nabi Ibrahim al-Khalil membawa jauh Hajar dari hadapannya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Ibrahim agar membawa Hajar keluar dari Palestina menuju Mekah al-Musyafarah. Lalu Nabi Ibrahim membawa istri dan putranya menempuh perjalanan jauh, hingga sampai di suatu daerah yang sekarang dikenal dengan Mekah, lalu menempatkan mereka di sana.

Setelah Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan putranya di Mekah, dia pernah berkunjung untuk mengetahui keadaan mereka, dalam salah satu kunjungannya Nabi Ibrahim menemui putranya Ismail sedang mengasah anak panahnya di bawah sebuah pohon yang rindang di dekat zam-zam.

Tatkala Ismail melihat ayahnya, dia langsung berdiri menyambutnya, lalu mereka berpelukan layaknya seorang putra kepada ayahnya dan ayah kepada putranya, kemudian Nabi Ibrahim berkata: “Wahai Ismail sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku perintah.”

-          Ismail berkata: “Lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu.”

-          Ibrahim berkata: “Maukah engkau membantuku?”

-          Ismail berkata: “Aku akan membantumu.”

-          Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkanku untuk membuat rumah ibadah di sini” (sambil mennjuk ke sebuah anak bukit sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah sekitarnya).

Kemudian keduanya mulai membangun pondasinya, Nabi Ismail mencari dan mengangkat batu, sedangkan Nabi Ibrahim yang memasangnya.

Hingga dinding bangunan mulai tinggi, Nabi Ibrahim mengambil batu (yang sekarang dikenal dengan maqam Ibrahim), lalu meletakkannya dan berdiri di atas batu tersebut untuk memasang batu di bagian atas, dan Nabi Ismail memberikan batu dari bawah.

Kemudian mereka berkata:

“Ya Tuhan kami, terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Lalu mereka thawaf (berputar) mengelilingi bangunan tersebut.
Quraisy Membangun Ka’bah

Beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Rasul, batu-batu dinding Ka’bah bagian atas sudah mulai pecah dan berserakan. Tingginya yang tidak terlalu jauh dari ukuran orang berdiri, membuat orang dapat dengan mudah memanjatnya lalu mencuri barang berharga yang terdapat di dalamnya.

Quraisy berkeinginan untuk meninggikan dinding Ka’bah dan memberinya atap. Pada saat yang sama di Jeddah, ada kapal milik pedagang Roma yang dihempaskan ombak ke pantai lalu pecah. Kaum Quraisy mengambil kayunya untuk dipersiapkan menjadi atap Ka’bah.

Tetapi orang-orang yang merasa takut untuk mulai menghancurkan Ka’bah, hingga al-Walid bin al-Mughirah memberanikan diri untuk memulai menghancurkannya.
 Ketika orang-orang melihat al-Walid tidak mengalami apa-apa, mereka baru berani menghancurkannya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Meletakkan Hajar Aswad

Kemudian kabilah-kabilah Quraisy mengumpulkan batu untuk membangun Ka’bah. Setiap kabilah mengumpulkan batu di tumpukan sendiri, lalu mereka membangun Ka’bah 
hingga tahap pembangunan sampai pada bagian sudut
 (tempat Hajar Asward).
 Setiap kabilah berkeinginan untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut ke sudut itu. Sampai masing-masing kabilah
 membuat barisan tersendiri, karena mereka berselisih
 dan bersiap siaga untuk berperang.

Bangsa Quraisy menghentikan pembangunan
 sampai selesai perselisihan ini selama 4 atau 5 hari. 
Kemudian mereka berkumpul di masjid untuk 
bermusyawarah dan saling bertukar pendapat.

Sebagian ahli riwayat menduga bahwa Abu Umayah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum (pada tahun itu adalah orang Quraisy yang paling dituakan) berkata: “Wahai bangsa Quraisy, serahkanlah urusan yang kalian perselisihkan (memindahkan Hajar Aswad ke sudut Ka’bah) kepada orang yang pertama masuk masjid ini, biarlah ia yang memutuskan perselisihan ini.” Lalu mereka menyetujuinya.

Ternyata orang yang pertama kali masuk pintu masjid itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala mereka melihatnya, mereka berkata, “Ini adalah al-Amin (orang yang terpercaya), kami ridha dengan Muhammad.”

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di hadapan, mereka memberitahukan kepada beliau tentang duduk persoalannya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berilah aku sehelai kain.”
 Lalu beliau membawa kain tersebut dan 
meletakkan Hajar Aswad di atas kain dengan tangannya 
kemudian bersabda: 
“Hendaklah setiap kabilah memegang setiap sudut kain ini.”

Lalu mereka serentak mengangkatnya dan 
membawanya hingga sampai di dekat sudut Ka’bah, 
kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Hajar Aswad dengan tangannya dan meletakkannya pada tempatnya, kemudian pembangunan diteruskan.

Sumber: Sejarah Kota Mekah 
oleh Syaikh Syaifurrahman Mubarakfury

Baca Selengkapnya ....
Tutorial SEO dan Blog support Online Shop Tas Wanita - Original design by Bamz | Copyright of BLOGANA.