JURUS JITU MENDIDIK ANAK
Rabu, 14 November 2012
0
komentar
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Di bulan Ramadhan tahun ini, kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung
Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih
dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak.
Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul
“Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih
dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak.
Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul
“Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang
turut andil dalam amal salih ini.
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!
Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!
JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap
insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak.
Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi
kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya.
Namun, realita berkata lain. Rupanya
tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak
daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi
orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur,
terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam
pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang
gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita
disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena
mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka
memiliki kepatutan sebagai orangtua.
Padahal, menjadi orangtua harus berbekal
ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di
sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia
unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.
Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu apa saja yang dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan
orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai
varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang
harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan
akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada
Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR.
Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,
“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk
shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka
berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh
al-Albany.
Bagaimana mungkin orangtua akan
memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara
shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk
memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai
adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si
anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi,
bertamu dan lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,
“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu
seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita
menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana
membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka
untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri
anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.
Ayo belajar!
Semoga pemaparan singkat di atas bisa
menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga
diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri,
meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca
buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua
yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!
JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya,
di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat
al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya
enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan
kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan
ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa
meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat
tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua
anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka
yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak
tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di
antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan
menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah
meninggal dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak
positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap
dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup??
Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.
Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan
cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih
dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai
cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita
selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi
salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan
dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua
mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab
ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia
lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias
akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam
dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan
ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan
jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak
disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang
dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang
suka meniru!
Beberapa contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita
rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan
berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak
memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton
televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca
al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an
yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah
Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan
langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam
bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari,
ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari
keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke
kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan
mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita
menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan
saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang
malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh
kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak
bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan
menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu
lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka
menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang
tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan
melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak
akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila
pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan
kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan
telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman
ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin
mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan
acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para
nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka
lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab
dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini
tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk
mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini,
dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika
kondisi kita terus seperti ini??
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi
buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang.
Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita
sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan
orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…
JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah
dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan,
nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita
ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita
lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna
mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti
popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.
Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
- Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
- Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
- Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
- Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan
bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan
membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada
berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga
Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.وَالَّذِينَ آَمَنُوا
وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan
anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala!
Mulailah dari sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam
untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan
sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan
menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang
buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan
untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada
Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan
mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan
membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.
Sehingga dengan itu, semoga setiap
suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan
meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut
ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…
JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak
bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia.
Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia,
musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan
kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang
membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab
rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang
tidak sesuai dengan harapan kita.
Contoh aplikasi kesabaran
- Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan
hal itu dalam sabdanya,“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِه”
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan
menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.
- Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
- Sabar menjadi pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
- Sabar manakala emosi memuncak. Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…
JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat
Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di
sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa
sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan
tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala
dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak,
“Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya
merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak
saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah
mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi
orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air,
jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang
tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan
itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan
mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya
merawat mereka”.
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih
redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada
redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam
al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai
Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang
menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum
muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.
Seberapa besar sih kekuatan doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala
tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan
pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan
Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk
lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala.
Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon
bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam
hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.
Sejak kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ
وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ
الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ
الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian sebelum
bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy
syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya
Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang
Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak;
niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668
no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan
pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan
diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi
generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.
Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.
Setelah lahir hingga anak dewasa
sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu
yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga
malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda
perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan
doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa
besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.
Awas, hati-hati!
Doa orangtua itu mustajab, baik doa
tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para
orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata
yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan
tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu
kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka.
Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”.
“Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.
Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis Abdullah Zaen, Lc,. MA
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: JURUS JITU MENDIDIK ANAK
Ditulis oleh Tri Rahmanto
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://tritrue.blogspot.com/2012/11/jurus-jitu-mendidik-anak.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Tri Rahmanto
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar