AGAR IBADAH DITERIMA
Posted by Tri Rahmanto
Jumat, 22 Februari 2013
0
komentar
Pembaca
yang dirahmati Allah, sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan
diciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan
mentauhidkan-Nya. Namun perlu diketahui, agar ibadah kita diterima, maka
harus terpenuhi syarat-syaratnya. Jangan sampai seseorang telah
melakukan ibadah dengan harta dan tenaga yang besar, namun ternyata hal
tersebut sia-sia karena tidak diterima disisi Allah Ta’ala, bahkan malah
menjerumuskannya ke dalam neraka. Pada kesempatan ini, kami akan
jelaskan sedikit mengenai syarat diterimanya ibadah.
Apa yang dimaksud dengan ibadah?
Sebagian kaum muslimin keliru dalam mendefinisikan makna ibadah.
Menurut mereka, yang namanya ibadah itu sebatas hanya yang disebutkan
dalam rukun islam, seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Namun
pemahaman tersebut kurang tepat. Ibadah memiliki pengertian yang lebih
luas. Definisi yang dinilai paling baik adalah yang disampaikan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau mendefinisikan ibadah dengan “Suatu
istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi
(batin) maupun yang nampak (lahir)”. Sehingga termasuk kedalam ibadah
adalah perkataan jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada orang tua,
menyambung silaturahmi, dan selainnya yang memiliki dalil bahwa amalan
tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala. (Al Ubudiyah oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Syarat diterimanya ibadah
Allah Ta’ala sebagai pembuat syari’at telah menetapkan jenis-jenis
ibadah yang dilakukan hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Namun
tidak semua ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima oleh
Allah. Bahkan sebagian dari hamba tersebut amalannya sia-sia di sisi
Allah. Hal itu terjadi karena hamba tersebut lalai untuk memenuhi syarat
diterimanya ibadah, yaitu ikhlas, ittiba’ (mengikuti petunjuk
rasulullah), dan beragama Islam.
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya) “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS Al Kahfi
: 110)
Syaikh As Sa’di menjelaskan yang dimaksud dengan amal
sholeh pada ayat ini adalah yang sesuai dengan syariat Allah (sesuai
dengan petunjuk Rosulullah) baik itu amalan yang bersifat wajib atau
sunnah. Dan tidak boleh riya’ dalam beramal akan tetapi harus ikhlas
mengharap wajah Allah semata. Maka ayat ini mengumpulkan dua syarat
diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’.
Rasulullah juga
bersabda, (yang artinya) “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu
amalan, kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya” (HR. Al-Nasaa’I,
dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, no. 1856). Juga
sabda beliau (yang artinya) “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang
bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa agar amal seseorang diterima,
maka harus terkumpul antara ikhlas dan ittiba’. Jika ikhlas saja namun
menyelisihi petunjuk rasul maka amal tersebut tidak diterima, begitu
pula jika mengikuti petunjuk rasul saja namun riya’ (beribadah karena
ingin dipuji) juga tidak diterima.
Syarat yang ketiga agar amal
ibadah seseorang diterima disisi Allah adalah harus beragama islam,
Sedangkan amalan orang kafir tidak diterima, Allah berfirman (yang
artinya), “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka
adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang
berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari
apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah
kesesatan yang jauh” (QS Ibrahim : 18)
Ketiga syarat inilah
yang harus dipenuhi oleh seseorang agar amal ibadahnya diterima. Jika
hilang salah satunya maka tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.
Bukan sekedar niat baik
Sebagian kaum muslimin memiliki kaidah yang salah dalam beribadah. Mereka berkeyakinan “yang penting niatnya baik”.
Hal ini tidaklah benar, karena seseorang dalam beramal harus
berdasarkan ilmu. Ia harus mengetahui perkara apa yang termasuk ibadah
dan bukan ibadah. Islam telah mengajarkan semua perkara yang dapat
mendekatkan diri kepada surga dan menjauhkan dari neraka, yang telah
dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah bersabda
(yang artinya) “Tidak ada satu amalan pun yang mendekatkan kepada syurga
kecuali telah aku perintahkan kepada kalian, dan tidak pula satu amalan
yang mendekatkan kepada neraka kecuali aku peringatkan kalian darinya”
(HR Al Hakim, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits
ash-Shahihah no. 2607)
Ajaran Islam telah sempurna dan
syari’atnya terus berlaku hingga hari kiamat nanti. Maka barangsiapa
berpegang teguh dengan keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah-red) disertai
dengan pemahaman yang benar, niscaya ia tidak akan tersesat selamanya.
Oleh karena itu, jika ada yang memiliki keyakinan terdapat amalan yang
dianggap baik namun tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka secara
tidak langsung ia telah mendustakan berita dari nabi tersebut. Apakah
ini perbuatan orang yang mengaku mencintai nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam?!
Cukuplah kisah 3 orang sahabat nabi ini
sebagai contoh bahwa niat yang baik saja tidaklah cukup. Dari Anas bin
Malik, beliau berkata “Ada tiga orang yang datang ke rumah sebagian
istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertujuan) menanyakan
tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan kepada mereka, mereka
merasa ibadah beliau itu hanya sedikit, seraya berkata: “Dimanakah
kedudukan kami dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Padahal beliau telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang
telah lewat maupun yang akan datang”
Salah seorang diantara
mereka berkata: “Saya akan mengerjakan sholat malam terus menerus”. Dan
yang lainnya berkata:”Kalau aku, akan terus menerus berpuasa tanpa
berbuka” Dan yang satu lagi berkata: ”Sedangkan aku tidak akan mendekati
wanita dan tidak akan menikah untuk selamanya” Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka dan berkata, “Kaliankan
yang tadi mengatakan ini dan itu? Adapun diriku, demi Allah, aku adalah
orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada-Nya daripada kalian,
tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, mengerjakan sholat dan juga tidur,
serta menikahi wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak menyukai
sunnahku, dia bukan termasuk golonganku” (HR. Bukhari No. 5063 dan
Muslim No. 1401)
Dalam hadits ini, ketiga orang sahabat
tersebut memiliki niat yang baik, yaitu ingin beribadah dengan
sungguh-sungguh agar mendapatkan pahala yang banyak. Diantara mereka ada
yang ingin mengerjakan sholat malam terus menerus (tanpa tidur), ada
yang ingin berpuasa setiap hari, dan ada yang ingin meninggalkan
syahwatnya dengan tidak menikah agar lebih khusyu’ dalam beribadah.
Ketiga amalan tersebut terlihat menakjubkan bahkan mungkin ada yang
menilai sangat luar biasa baik. Namun Rasulullah tidak memuji perbuatan
tersebut, akan tetapi justru mengingkarinya. Karena perbuatan tersebut
menyelisihi petunjuk Rasulullah, bahkan Rasul mengancam dengan ancaman
yang keras. Maka niat baik para sahabat tersebut semata tidaklah cukup.
Melainkan harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kaidah dalam ibadah
Pembaca yang dirahmati Allah
Ta’ala, jika kita telaah kembali dalil-dalil diatas, maka terdapat
kaidah penting dalam memahami perkara ibadah agar seseorang tidak
tergelincir dalam penyimpangan. Kaidah tersebut adalah “Hukum asal
perkara ibadah adalah terlarang, sampai dijumpaidalil yang
memerintahkannya”.
Oleh karena itu seseorang tidak boleh
membuat-buat jenis ibadah sendiri, baik berupa jenis ibadah baru atau
tata cara ibadah yang menyelisihi tata cara ibadah yang dicontohkan oleh
Rasulullah (walaupun jenis ibadahnya berdalil). Karena tata cara ibadah
telah diajarkan secara rinci dari perkara yang kecil sampai perkara
yang besar.
Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Salman dia
berkata: “Ditanyakan kepadanya, ‘(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan
segala sesuatu hingga tata cara buang air besar? “. ‘Abdurrahman
berkata: Salman menjawab, “Ya.” (HR. Muslim no. 262)
Rasulullah
telah mengajarkan kepada kita perkara yang kecil seperti tata cara
buang air besar, maka tentu perkara yang lebih penting -yaitu tata cara
beribadah- telah diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga sudah seharusnya kaum muslimin bersikap kritis terhadap ibadah
yang dilakukan dengan bertanya “Adakah dalil yang memerintahkan ibadah
ini?!”. Jika tidak ada dalilnya, maka tinggalkan dan jangan dilakukan.
Demikian penjelasan singkat mengenai syarat diterimanya ibadah ini,
semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kepada kita jalan yang lurus,
dan melapangkan hati kita untuk menerima ilmu dan mengamalkannya.
[Ndaru Triutomo, S.Si*]
*Penulis adalah alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta
Buletin At Tauhid 22 Februari 2013
http://buletin.muslim.or.id/ibadah-2/agar-ibadah-diterima
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: AGAR IBADAH DITERIMA
Ditulis oleh Tri Rahmanto
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://tritrue.blogspot.com/2013/02/agar-ibadah-diterima.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Tri Rahmanto
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar